Oleh: Selwa Kumar | Penggiat Peradaban dan Anggota Forum Penyelamat USU
Dalam peta politik Indonesia, kekuasaan tidak hanya bergulir di pusat, tetapi menjalar hingga ke lembaga-lembaga yang seharusnya steril dari kepentingan politik—salah satunya perguruan tinggi negeri.
Fenomena ini tampak jelas dalam apa yang disebut sejumlah pengamat diduga sebagai “Operasi Toba”, yakni diduga upaya sistematis dinasti politik asal Solo memperluas pengaruh hingga ke daerah-daerah strategis, termasuk Sumatera Utara—provinsi dengan jumlah pemilih keempat terbesar setelah Jawa Tengah.
Pergeseran politik ini tampak nyata dalam dinamika pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri. Proses yang seharusnya akademis berubah menjadi arena perebutan kekuasaan, di mana loyalitas kepada kekuatan politik lebih menentukan ketimbang integritas intektual.
Fenomena “pemilihan rektor USU yang anti-demokrasi dan ugal-ugalan” ini mencerminkan praktik abuse of power yang terstruktur, sitemik dan masif, dimana dimulai pada saat pemilihan MWA, dengan campur tangan elite pusat semakin kentara dalam urusan kampus.
Secara teoretik, hal ini dapat dijelaskan melalui konsep state capture—ketika institusi publik dikooptasi oleh kepentingan oligarki untuk memperluas kontrol terhadap sumber daya dan legitimasi sosial. Dalam konteks perguruan tinggi, state capture menjelma dalam bentuk manipulasi mekanisme pemilihan rektor, intervensi politik dalam kebijakan akademik, dan distribusi jabatan berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi.
Kasus calon rektor yang diduga tersangkut jaringan korupsi seperti OTT Topan Ginting di proyek jalan Tapanuli Selatan menjadi contoh konkret bagaimana patronase politik merembes hingga ke dunia pendidikan tinggi. Ketika perguruan tinggi menjadi bagian dari jejaring kekuasaan, ia kehilangan fungsinya sebagai benteng moral bangsa dan berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan yang mencari legitimasi akademik.
Data Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menunjukkan diduga lebih dari 60 persen perguruan tinggi negeri strategis memiliki relasi politik dengan kepala daerah atau elite nasional. Ini menunjukkan bahwa otonomi kampus belum sepenuhnya bebas dari tekanan eksternal. Di titik ini, relasi antara politik dan pendidikan bukan lagi soal kebijakan, tetapi perebutan simbol kekuasaan—karena universitas memiliki dua hal yang paling dicari oleh politik: legitimasi dan massa intelektual.
Maka, diduga kode “Operasi Toba” bukan sekadar metafora, melainkan sinyal bahaya bagi demokrasi akademik. Bila universitas terus dijadikan panggung konsolidasi kekuasaan dinasti politik, maka peran kampus sebagai ruang kebebasan berpikir akan punah. Dalam masyarakat yang sehat, universitas adalah ruang kritik terhadap negara; tetapi dalam masyarakat yang dikooptasi, universitas justru menjadi instrumen negara untuk menundukkan akal sehat.
Fenomena relasi Prabowo–Jokowi dapat dibaca melalui lensa teori patronase politik yang kerap mewarnai demokrasi pasca-reformasi. Dalam sistem patron-klien, kekuasaan berpindah melalui legitimasi dan loyalitas: yang lama memberi dukungan simbolik, yang baru membalas dengan kesetiaan politik. Namun, Prabowo membalik pola itu.
Ia menerima legitimasi tanpa tunduk secara struktural, mengubah hubungan hierarkis menjadi relasi negosiasi kekuasaan yang setara. Pola ini menggeser praktik patronase lama yang berbasis personal menjadi patronase strategis—di mana kekuasaan ditentukan oleh kemampuan mengelola wacana publik dan akses terhadap sumber daya negara.
Teori ini juga menguak wajah oligarki politik yang terus bertahan di bawah kemasan demokrasi. Seperti ditulis Mietzner (2015), patronase menjadi mekanisme utama dalam pembagian proyek infrastruktur, jabatan, hingga akses modal negara. Ketika proyek-proyek besar seperti kereta cepat atau hilirisasi mineral justru lebih memperkuat elite ketimbang rakyat, muncul istilah “pembangunan tersesat arah”.
Dalam konteks ini, Prabowo tampak berusaha keluar dari jejaring lama dengan mengembalikan politik pada agenda moral dan kedaulatan ekonomi. Namun, pertanyaannya: mampukah ia menembus tembok oligarki yang telah lama menjebak negara dalam cengkeraman state capture?
Sementara itu, Jokowi yang terbiasa mengendalikan dinamika politik dengan strategi harmoni, kini berhadapan dengan mantan rival yang tak mudah dikendalikan. Relasi keduanya ibarat dua matahari yang pernah bertabrakan, kini tampak menyinari langit yang sama dengan spektrum cahaya berbeda.
Pernyataan Luhut bahwa “jangan lupa jasa orang” adalah refleksi kegelisahan elite lama terhadap arah baru politik nasional. Ia tahu bahwa pergeseran ini bukan sekadar pergantian pemimpin, melainkan pergeseran paradigma kekuasaan. Dari patronase berbasis personalitas menuju manajemen kekuasaan berbasis struktur.
Prabowo memahami betul medan politik yang sedang ia pijak. Sebagai mantan prajurit, ia memandang kekuasaan seperti pertempuran yang membutuhkan strategi berlapis. Dalam kerangka teori strategi Clausewitz, politik adalah kelanjutan perang dengan cara lain. Maka, “pengakuan hutang budi” bisa dibaca sebagai manuver diplomatik, bukan pernyataan tunduk.
Adaptasi taktik Prabowo juga terlihat dari caranya membangun narasi populis. Ia menekankan perlindungan bagi rakyat kecil, menegaskan keadilan ekonomi, dan menghidupkan kembali sentimen nasionalisme. Langkah ini sekaligus membedakan dirinya dari Jokowi yang dikenal lebih teknokratik dan pragmatis.
Di sisi lain, publik membaca relasi Jokowi–Prabowo sebagai bentuk simbiosis sementara. Jokowi butuh stabilitas pasca kekuasaan, Prabowo butuh legitimasi transisi. Namun seiring berjalannya waktu, simbiosis itu perlahan berubah menjadi kompetisi terselubung dalam memperebutkan pengaruh di lingkar kekuasaan.
Data politik menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Prabowo meningkat signifikan menjelang pelantikan. Lembaga survei seperti Indikator dan LSI mencatat elektabilitasnya melampaui 50 persen di kalangan pemilih muda. Ini menandakan bahwa Prabowo berhasil memisahkan citra dirinya dari bayang-bayang Jokowi.
Dari perspektif teori komunikasi politik, Prabowo mengelola citra publiknya melalui “strategic ambiguity”—ketidakjelasan strategis yang disengaja. Ia tidak menolak Jokowi, tetapi juga tidak sepenuhnya melebur. Dalam retorika publik, sikap ini menciptakan kesan independensi tanpa menimbulkan konfrontasi.
Di tengah situasi ini, Luhut tampil sebagai figur penjaga warisan rezim lama. Namun, manuvernya mulai tampak kehilangan daya. Ketika Prabowo berbicara tentang “membersihkan mafia”, publik menafsirkan itu sebagai sindiran terhadap kelompok yang selama ini mengelilingi kekuasaan Jokowi, termasuk sebagian lingkar Luhut sendiri.
Kondisi ini memperlihatkan perubahan orientasi politik. Jika Jokowi menekankan pembangunan infrastruktur fisik, maka Prabowo tampak ingin membangun “infrastruktur moral dan kelembagaan”. Ia menyoroti pentingnya kedaulatan pangan, industrialisasi nasional, dan pemberantasan korupsi sebagai pilar utama pemerintahan.
Namun, Prabowo juga sadar bahwa perubahan besar membutuhkan stabilitas. Maka ia tidak memilih konfrontasi frontal, melainkan strategi infiltrasi. Dalam istilah militer, ini disebut deep penetration: masuk ke dalam sistem untuk mengubahnya dari dalam.
Pendekatan ini mirip dengan metafora “Kuda Troya” yang banyak disebut pengamat. Prabowo diterima sebagai bagian dari sistem Jokowi, tetapi kini sistem itu berada di bawah kendali taktisnya. Ia berhasil memanfaatkan legitimasi lama untuk menciptakan arah politik baru.
Sementara fenomena benturan halus antara “politik sipil” ala Jokowi dan “politik disiplin” ala Prabowo semakin terasa ketika peta kekuasaan bergerak ke fase konsolidasi. Jokowi, dengan gaya teknokratik dan jaringan loyalis sipil-birokratiknya, berupaya mempertahankan pengaruh lewat penempatan tokoh-tokoh kepercayaannya di lembaga strategis.
Sementara itu, Prabowo membangun lingkaran baru yang menekankan profesionalisme, kedisiplinan, dan etos kerja khas militer. Perbedaan pendekatan ini menimbulkan friksi kultural dalam tubuh pemerintahan—antara gaya kompromistis dan gaya komando yang tegas.
Namun dinamika internal Partai Gerindra menunjukkan bahwa loyalitas politik belum sepenuhnya solid. Isyarat ini tampak dari insiden “17+8” pada 30 Agustus 2025, ketika sejumlah petinggi partai mendadak mematikan ponsel dan menghilang dari koordinasi langsung Prabowo.
Peristiwa itu dibaca banyak pihak sebagai simbol “politik dua kaki”—sebagian elite masih menjaga jarak aman dengan Jokowi, menunggu arah angin kekuasaan. Bagi Prabowo, ujian terbesar justru bukan pada lawan politiknya, melainkan pada barisan sendiri: sejauh mana ia mampu mengubah patronase lama menjadi loyalitas yang lahir dari keyakinan, bukan ketakutan
Ketegangan ini semakin terlihat dari sikap publik terhadap elite lama. Sentimen “anti oligarki” meningkat, dan Prabowo pandai memanfaatkannya. Ia tampil sebagai simbol restorasi moral di tengah keletihan masyarakat terhadap politik kompromi.
Namun, bukan berarti Prabowo tanpa tantangan. Struktur ekonomi-politik yang diwariskan Jokowi masih kuat, terutama dalam jaringan bisnis BUMN dan investasi asing. Prabowo harus menyeimbangkan antara agenda nasionalis dengan realitas global.
Luhut, dalam posisi defensif, tampak ingin memelihara narasi bahwa Prabowo harus berterima kasih kepada Jokowi. Padahal, dalam logika politik, kekuasaan tidak pernah diwariskan, tetapi direbut dengan legitimasi publik. Prabowo tampaknya memahami itu lebih baik.
Dalam jangka panjang, hubungan Jokowi–Prabowo akan menjadi studi menarik tentang transisi kekuasaan di Indonesia. Ini bukan transisi ideologis, melainkan transisi hegemoni: dari kepemimpinan berbasis personalitas menuju kepemimpinan berbasis simbol dan institusi.
Begitupun secara teori, hubungan ini bisa dijelaskan dengan konsep Antonio Gramsci tentang “hegemoni baru”. Ketika kekuasaan lama kehilangan daya legitimasi moral, muncul kekuatan baru yang mengklaim membawa moralitas rakyat. Prabowo kini memainkan peran itu.
Maka, pernyataan bahwa Prabowo berhutang budi kepada Jokowi hanyalah bagian dari upaya menjaga mitos politik lama. Dalam kenyataannya, Prabowo telah bertransformasi dari penerima mandat menjadi pencipta arah baru kebijakan.
Pergeseran ini menandai berakhirnya era politik transaksional yang didominasi elite sipil-birokratik. Prabowo mencoba mengembalikan etos kenegaraan dengan disiplin, ketegasan, dan orientasi kebangsaan yang kuat. Tentu, masih terlalu dini untuk menilai hasilnya, tetapi arah itu sudah tampak.
Politik Indonesia kini memasuki fase yang lebih kompleks: ketika harmoni semu bergeser menjadi kompetisi ideologis di dalam satu koalisi kekuasaan. Ini menuntut kedewasaan publik membaca simbol, bukan hanya pernyataan.
Pada akhirnya, hubungan Prabowo dan Jokowi bukanlah kisah tentang hutang budi, tetapi tentang evolusi kekuasaan. Politik Indonesia sedang menulis babak baru—di mana strategi, bukan sentimen, menjadi penentu. Dan seperti biasa, rakyat adalah penonton paling cerdas dari drama kekuasaan ini. ***