DEMOCRAZY.ID – Pemerhati politik dan kebangsaan, M. Rizal Fadillah, kembali berbicara tentang penyelenggara pemilu dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Ia menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan tindakan yang disebutnya sebagai konspirasi politik untuk meloloskan Gibran.
Dikatakan Rizal, dasar hukum pencalonan Gibran sebagai Cawapres sejak Pemilu 2024 lalu sudah bermasalah sejak awal.
Ia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka jalan bagi Gibran maju dalam pilpres, merupakan bentuk pelanggaran konstitusi.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres menjadi kontroversi. MKMK bahkan memecat Anwar Usman, paman Gibran, dari jabatan Ketua MK. Jadilah putusan tersebut cacat konstitusi,” ujar Rizal, Kamis (16/10/2025).
Ia menyebut, ketika keputusan MK itu didaftarkan ke KPU sebelum terjadi perubahan PKPU dan sebelum DKPP memberhentikan Ketua KPU Hasyim Asy’ari, maka produk hukum tersebut cacat demokrasi.
Rizal juga menyoroti kapasitas pribadi Gibran yang dianggapnya belum layak memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
“Kualitas Gibran tidak memadai. Songong dan minim pengalaman pemerintahan. Bergaya politik ala bapaknya, doyan pencitraan,” tegasnya.
Ia bahkan menyebut citra pribadi Gibran di publik justru sering kali memperlihatkan perilaku tidak pantas.
“Akun fufufafa-nya merusak citra diri sebagai manusia bermoral, miskin beragama, serta kekanak-kanakan,” kata Rizal.
Selain itu, Rizal menyinggung persoalan dokumen pendidikan Gibran yang disebut-sebut tidak transparan.
Menurutnya, KPU maupun KPUD tidak melakukan verifikasi secara menyeluruh terhadap berkas pencalonan Gibran, baik saat maju sebagai Wali Kota Solo maupun sebagai Wakil Presiden.
“Ternyata Gibran tidak memiliki ijazah SLTA asli. Sekolahnya konon di Singapura dan Australia tapi menggenggam ijazah Inggris. Bergengsi pada profil, tapi belepotan pada pembuktian,” Rizal menuturkan.
Ia menjelaskan bahwa dokumen yang diterima KPU hanyalah surat keterangan dari Kementerian Pendidikan yang menyebut Gibran telah menempuh Grade 12 di UTS Insearch, Sydney, Australia yang dianggap setara dengan SMK oleh Kemendikbud.
Namun, menurut Rizal, surat tersebut tidak cukup untuk memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) bahkan sudah menyurati Mendikdasmen Prof Abdul Mu’ti untuk meminta kejelasan soal dasar hukum dan kelengkapan dokumen tersebut, tapi sampai kini tidak ada jawaban,” Rizal menuturkan.
Ia menilai sikap diam Kemendikbud bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Lebih lanjut, Rizal menduga KPU telah secara sengaja membuat pasal khusus di dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023 untuk mengakomodasi Gibran.
“KPU pun diduga kuat melakukan kejahatan dengan membuat aturan spesial untuk Gibran sebagaimana bunyi Pasal 18 ayat (3) PKPU No 19 Tahun 2023,” katanya.
“Bukti kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dikecualikan bagi bakal calon Presiden atau calon Wakil Presiden yang tidak memiliki bukti kelulusan sekolah menengah atas dari sekolah asing di luar negeri dan telah memiliki bukti kelulusan perguruan tinggi,” ucap Rizal mengutip pasal yang dimaksud.
Rizal bilang, pengecualian itu jelas-jelas memberikan keuntungan personal bagi Gibran, yang disebutnya tidak memenuhi syarat pendidikan secara lengkap.
“Gibran semakin jelas tidak memenuhi syarat, bermain dalam konspirasi jahat Kemendikbud dan KPU. Diawali perselingkuhan dengan MK. Karenanya sudah seharusnya manusia sejenis ini segera dimakzulkan. Gibran harus out, out, dan out!,” kuncinya.
Sumber: Fajar