DEMOCRAZY.ID – Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE), Bhatara Ibnu Reza, menilai eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terpidana Silfester Matutina pada kasus fitnah terhadap mantan Wapres Jusuf Kalla semakin menunjukan ketidakjelasan dan kemunduran penegakan hukum di Tanah Air.
Eksekusi tersebut seharusnya sudah dilakukan saat vonis 1,5 tahun dijatuhkan Majelis Hakim PN Jaksel pada 2019.
Namun hal itu tidak segera dilakukan oleh Kejaksaan dengan asalan pandemi COVID-19.
Sebaliknya, sambung Bhatara Ibnu Reza, terpidana Silfester Matutina malah menantang Kejaksaan agar segera mengeksekusinya.
Bahkan sempat melakukan perlawanan dengan mengajukan upaya hukum luar biasa yakni peninjauan Kembali (PK). Meskipun pengadilan menolak permohonan PK-nya.
Alih-alih mengeksekusi, Kejaksaan justru meminta bantuan penasihat hukum terpidana untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor.
“Kami menilai, kejaksaan tidak benar-benar serius dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam kasus ini. Terutama dengan sejumlah dalih serta saling lempar tanggung jawab antara pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan Kejaksaan Agung,” kata Ibnu Reza.
“Terlebih lagi dalih kejaksaan bahwa Silfester tidak dapat ditemukan berbanding terbalik dengan fakta bahwa terpidana kasus fitnah ini masih secara bebas muncul di berbagai media massa,” sesalnya.
Sikap kejaksaan ini, tegas dia, menimbulkan pertanyaan masyarakat bahwa kejaksaan melakukan praktik tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum.
Di samping itu, Ibnu Reza juga menyoroti Komisi Kejaksaan selaku pengawas eksternal telah turut serta gagal dalam melaksanakan tugas melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja serta perilaku Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik.
Pada kasus ini, Komisi Kejaksaan seolah turut serta dalam membenarkan langkah kejaksaan dalam mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi.
Sejak kasus ini kembali menjadi sorotan publik, Komisi Kejaksaan hanya mendorong tanpa disertai upaya mendesak kejaksaan.
“Kami menilai kasus ini merupakan bukti bahwa keluasan kewenangan melalui peraturan perundang-undangan tidak menjamin upaya penegakan hukum,” tambahnya.
Lebih jauh lagi dikatakan, Kejaksaan memiliki hasrat untuk memperluas kewenangannya melalui RUU KUHAP dan RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya check and balance antara penggunaan kewenangan dengan pengawasan kewenangan khususnya oleh institusi pengawas eksternal.
Pada sisi lain, tidak ada perubahan signifikan yang terlihat rencana perubahan peraturan perundang-undangan untuk memperkuat kewenangan pengawasan.
Situasi ini menimbulkan kerentanan akan penyalahgunaan wewenang abuse of power dalam pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan.
DE JURE pun mendesak Kejaksaan RI secepatnya mengeksekusi terpidana Silfester Matutina.
Komisi Kejaksaan juda didesak melakukan tugasnya dalam mengawasi kinerja dan perilaku jaksa secara serius.
“Kejaksaan juga tidak perlu menarik narik militer dalam wilayah Kejaksaan karena itu keliru dan menyalahi konstiusi. Tugas militer adalah menjaga kedaulatan negara bukan menjaga kejaksaan, aplagi meilbatkan mereka dalam kejaksaaan,” pungkasnya.
Sumber: Konteks