DEMOCRAZY.ID – Setiap kali DPR disorot publik, topiknya hampir selalu sama.
perilaku anggota dewan yang bikin geleng kepala. Dari flexing harta, tidur saat sidang, sampai ucapan nyeleneh di media sosial.
Padahal, semua anggota DPR sebenarnya terikat oleh Kode Etik DPR RI seperangkat aturan yang mengatur bagaimana wakil rakyat harus berperilaku di dalam maupun di luar gedung parlemen.
Sayangnya, banyak dari aturan ini justru jadi formalitas.
8 aturan etika DPR yang seharusnya jadi pedoman kehormatan, tapi seringkali justru dilupakan, Sebagai berikut.
Kode Etik Pasal 3 menyebut: “Anggota DPR wajib berperilaku jujur dan tidak menyalahgunakan jabatan.”
Namun, dari kasus gratifikasi, suap, hingga konflik kepentingan, pelanggaran integritas jadi yang paling sering terjadi.
Publik sering kali melihat wakil rakyat lebih sibuk menjaga posisi daripada menjaga kejujuran.
Anggota DPR dituntut menjadi panutan ucapan, sikap, dan gaya hidupnya harus mencerminkan tanggung jawab publik.
Tapi realitanya, banyak yang justru tampil mewah di media sosial.
Kasus terbaru, misalnya, sanksi MKD terhadap beberapa anggota DPR karena posting berlebihan dan perilaku tidak pantas di ruang sidang.
Secara hukum, anggota DPR wajib menempatkan kepentingan rakyat di atas partai atau pribadi.
Tapi publik sering merasa, keputusan politik justru lebih banyak mengikuti garis partai.
Rakyat pun mulai bertanya siapa sebenarnya yang diwakili?.
Ini aturan paling sederhana tapi paling sering dilanggar.
Absensi rapat paripurna selalu jadi sorotan bahkan tak jarang ruang sidang terlihat sepi di siang bolong.
Padahal, sesuai kode etik, anggota DPR yang absen tanpa alasan sah bisa kena sanksi.
Era digital membawa tantangan baru bagaimana pejabat publik bersikap di dunia maya.
MKD kini menafsirkan etika juga berlaku di media sosial.
Artinya, anggota DPR tak boleh menyebar hoaks, ujaran kebencian, atau pamer kemewahan berlebihan.
Kasus terbaru Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Ahmad Sahroni membuktikan: unggahan bisa berujung skorsing.
Publik berhak tahu apa yang dilakukan wakilnya mulai dari perjalanan dinas hingga anggaran yang dipakai.
Namun, keterbukaan ini masih minim.
Banyak anggota DPR yang jarang mempublikasikan laporan kinerja atau keuangan.
Padahal, keterbukaan adalah fondasi kepercayaan publik.
Kode etik dengan tegas melarang anggota DPR menggunakan jabatan untuk keluarga, bisnis, atau kepentingan partai.
Tapi realitanya, masih sering terdengar praktik lobi proyek, intervensi jabatan, atau promosi kader lewat jalur politik.
MKD menjelaskan pelanggaran semacam ini bisa berujung pada pemberhentian sementara dari jabatan.
Tak banyak yang tahu, MKD punya wewenang besar memberi sanksi:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian dari alat kelengkapan DPR
d. Skorsing sementara
e. Rekomendasi pemberhentian tetap
Namun, masyarakat sering meragukan ketegasan MKD. Banyak kasus berakhir dengan “peringatan ringan”, bukan langkah tegas.
Rakyat Indonesia sebenarnya tidak menuntut DPR sempurna.
Mereka hanya ingin wakil yang bisa dipercaya dan memberi contoh.
Ketika aturan etika dianggap sepele, kepercayaan publik pun terjun bebas.
Kode Etik DPR seharusnya jadi cermin moral, bukan pajangan formal.
Kalau setiap anggota dewan benar-benar menjadikannya pedoman, mungkin rakyat tak lagi sinis setiap kali dengar kata “wakil rakyat.”
Sumber: PojokSatu