DEMOCRAZY.ID – Pemerintah diminta untuk memperkuat keberadaan peran, dan fungsi, serta kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rencana merombak Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) 39/1999.
Permintaan itu bukan tanpa sebab. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menuding adanya upaya untuk menghabisi peran Komnas HAM melalui revisi UU HAM yang disorongkan Kementerian HAM dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2026 mendatang.
“Kami menolak revisi undang-undang (HAM) yang memperlemah keberadaan Komnas HAM. Kami (Komnas HAM) meminta justeru seharusnya pemerintah (melalui) Kementerian HAM melakukan revisi yang memperkuat (Komnas HAM),” kata Anis, Ahad (2/11/2025).
Penyampaian Anis tersebut sekaligus menepis pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai, Jumat (31/10/2025) yang mengatakan revisi UU HAM untuk memperkuat Komnas HAM dengan penambahan pasal-pasal kewenangan baru.
Pigai, akhir pekan lalu menyampaikan kementeriannya memang menyorongkan draf revisi UU HAM 39/1999 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk masuk dalam prolegnas, dan dibahas pada tahun sidang 2026 mendatang.
Menurut Pigai dalam rancangan undang-undang (RUU) yang sudah disiapkan oleh Kemen HAM ada beberapa klausul dan penambahan pasal-pasal untuk memperkuat keberadaan Komnas HAM.
Kementerian HAM memasukkan pasal-pasal agar Komnas HAM punya peran sebagai lembaga independen yang tetap dapat melakukan penyelidikan atas pengaduan HAM, tetapi juga akan punya kewenangan penyidikan.
“Komnas HAM itu nantinya dibuat bukan cuma penyelidikan, tetapi penyidikan dari pengaduan HAM oleh masyarakat itu,” kata Pigai.
Tak cukup dengan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tersebut, kata Pigai, tim perancang RUU HAM dari kementeriannya juga memasukkan pasal-pasal yang menambahkan peran Komnas HAM sebagai lembaga penuntutan sebagai kewenangan lanjutan hukum atas hasil penyelidikan dan penyidikan.
“Kita akan buat Komnas HAM ini seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran-pelanggaran HAM,” kata Pigai.
Revisi UU HAM 39/1999, kata Pigai juga akan memperkuat Komnas HAM dengan kewenangannya yang bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap orang-orang yang menjadi saksi terkait pelanggaran HAM.
Komnas HAM juga punya kewenangan dalam memberikan pendapat ataupun amicus curiae terhadap suatu keadaan hukum. Bahkan, Pigai mengatakan pendapat dari Komnas HAM itu mengikat.
“Saya bersama pakar-pakar HAM terbaik yang ada di Indonesia ini, justeru merancang agar Komnas HAM itu diperkuat dengan ditambahkan kewenangan-kewenangannya,” kata Pigai.
Penjelasan Pigai itu, pun sebetulnya tanggapan terkait kritik, dan keberatan Komnas HAM yang dirilis ke media pada Kamis (30/10/2025) menyangkut rencana revisi UU HAM tersebut.
Tetapi, Anis membantah penjelasan Menteri Pigai. Anis mengungkapkan Komnas HAM tak pernah dilibatkan dalam menyusun rancangan RUU HAM yang baru. Sampai pada Senin (27/10/2025) Komnas HAM meminta penjelasan dari terkait rancangan UU HAM bikinan pemerintah itu.
“Dan pada hari itu, lalu kami diundang dan di situlah kami mendapatkan salinan RUU (rancangan undang-undang) itu,” ujar Anis.
Dari RUU yang disampaikan Kementerian HAM kepada Komnas HAM itu, kata Anis tak ada penguatan melalui penambahan pasal-pasal kewenangan baru untuk Komnas HAM seperti yang disampaikan Menteri Pigai.
“Nggak ada yang seperti itu dalam RUU itu. Jangan sampai, itu menjadi penyesatan publik kalau dia (Menteri Pigai) mengatakan seperti itu. Saya sudah lihat, dan membaca draf rancangan undang-undang-nya itu. Nggak ada seperti yang dia sampaikan itu,” kata Anis.
Justru sebaliknya, kata Anis, RUU HAM itu mengancam keberadaan Komnas HAM.
Kementerian HAM kata Anis dalam RUU HAM memapas habis peran, dan fungsi, serta kewenangan-kewenangan Komnas HAM yang sudah ada sebelumnya dalam UU HAM 39/1999.
“Saya tidak tahu ya, apakah Komnas HAM-nya nanti itu masih ada atau tidak. Tetapi menurut saya, dengan RUU itu, menurut saya dengan menghabisi kewenangan Komnas HAM, ada niat dan seperti kesengajaan untuk menghabisi Komnas HAM,” kata Anis.
Anis mengungkapkan ada 21 daftar inventarisir pasal-pasal bermasalah dalam RUU HAM bikinan Kementerian HAM tersebut yang mengarah pada upaya legislasi untuk mempreteli satu per satu peran, dan fungsi, serta kewenangan Komnas HAM.
Di antaranya terkait dengan Pasal 1, Pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83 sampai 85, Pasal 100, Pasal 102 sampai 104, Pasal 109, dan Pasal 127 di dalam UU HAM 1999.
Dia mencontohkan dalam Pasal 1 ayat (7), dan Pasal 75, serta Pasal 89 ayat (1) sampai ayat (4) yang mengatur soal tugas serta kewenangan Komnas HAM.
“Dalam pasal-pasal tersebut, Komnas HAM memiliki empat tugas dan kewenangan utama. Yakni sebagai pengkaji dan penelitian, penyuluhan, serta pemantauan dan mediasi,” kata Anis.
Tetapi dalam rencangan revisi di Pasal 109 Kementerian HAM menebalkan tentang penghapusan kewenangan Komnas HAM dalam menerima dan penangani pengaduan terkait masalah-masalah, dan pelanggaran HAM.
“Dalam rancangan terbaru, sebagaimana di atur dalam Pasal 109, Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima, dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, melakukan pendidikan dan penyuluhan HAM, serta pengkajian HAM,” kata Anis.
Revisi UU HAM tersebut menebalkan tentang kewenangan Komnas HAM terkait peran awalnya itu hanya dibolehkan jika mengacu pada regulasi, dan instrumen HAM internasional.
Kemudian, kata Anis, revisi UU HAM 1999 bikinan Kementerian HAM juga mengancam independensi keberadaan Komnas HAM.
Independensi Komnas HAM selama ini mengacu pada Pasal 100 ayat (2) b UU HAM 1999. Dalam poin itu, panitia seleksi calon anggota Komnas HAM ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM.
Namun dalam revisi UU HAM bikinan pemerintah menebalkan tentang panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh presiden sebagai eksekutif kepala pemerintahan.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses seleksi anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Paris Principles,” kata Anis.
Paris Principles merupakan piagam internasional menyangkut soal prinsip-prinsip keberadaan lembaga HAM.
Masalah lainnya, kata Anis juga terkait dengan hapusnya kewenangan Komnas HAM dalam penanganan pelanggaran HAM.
Dalam revisi UU HAM tersebut kewenangan penanganan pelanggaran HAM melalui Kementerian HAM.
Pemindahan kewenangan penanganan HAM dari lembaga adhoc ke otoritas pemerintah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip independensi dalam pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Mengingat pemerintah kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM. Kementerian HAM sebagai duty bearer atau pengampu kewajiban HAM tidak seharusnya sekaligus berperan menjadi penilai, atau wasit (dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM),” kata Anis.
Anis melanjutkan, dalam rancangan revisi UU HAM 1999 oleh Kementerian HAM itu memang ada usaha untuk tetap menguatkan peran Komnas HAM seperti dalam Pasal 112. Yaitu terkait dengan rekomendasi Komnas HAM terhadap pemerintah yang mengikat.
Pun juga terkait dengan pemberian hak imunitas terhadap Komnas HAM. “Namun itu tidak ada artinya jika tugas dan wewenang Komnas HAM itu dikurangi, bahkan lebih dari setengah dari fungsi yang selama ini ada,” ujar Anis.
Revisi UU HAM 1999 itu, kata Anis juga menghapus kewenangan Komnas HAM di bidang pendidikan dan penyuluhan HAM.
Dan penghapusan tersebut mengancam peran Komnas HAM dalam upaya pemajuan, dan pencegahan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia.
Anis berpendapat, seluruh revisi UU HAM 1999 tersebut, tak dapat diterima secara prinsip pengakuan dan penegakan HAM.
Justru, kata Anis perevisian tersebut punya maksud yang tak baik dalam usaha Indonesia selama ini untuk menjadi negara yang menjunjung tinggi HAM.
Apalagi, dalam perevisian tersebut, pemerintah sama sekali tak pernah melibatkan Komnas HAM untuk pembahasan rancangan.
“Rancangan revisi UU HAM tersebut dapat dimaknai sebagai upaya menghapus keberadaan Komnas HAM dan kelembagaan HAM nasional,” kata Anis.
“Komnas HAM mendesak pemerintah agar substansi dalam rancangan revisi UU 39/1999 tentang HAM khususnya terkait kelembagaan dan fungsi Komnas HAM tidak diperlemah,” kata Anis.
Sumber: Republika