DEMOCRAZY.ID – Tiga hari terjebak reruntuhan musala Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, santri bernama Alfatih Cakra Buana berhasil dievakuasi dalam kondisi selamat.
Ia dievakuasi pada Rabu (1/10/2025) sore, atau tiga hari setelah musala Ponpes Al Khoziny ambruk pada Senin (29/9/2025) sore.
Pada saat dievakuasi, Alfatih tak mengalami luka serius, hanya lecet.
Alfatih menceritakan pengalaman yang dirasakannya selama 3 hari berada di reruntuhan bangunan.
Alfatih mengaku bermimpi saat ia tertidur beberapa puluh jam sebelum dievakuasi pihak tim SAR.
Dalam ceritanya, remaja 14 tahun itu merasa tidur. Ia bahkan tak mengingat pasti kejadian ini.
Alfatih hanya mengingat bahwa sebelum gedung itu ambruk dan sempat terdengar suara gemuruh seperti gempa.
Begitu gedung itu rubuh, Alfatih sempat berlari untuk keluar gedung. Namun ia tak berhasil dan pingsan.
Saat bangun, Alfatih sudah tak bisa melihat apa-apa alias gelap gulita.
Namun, Alfatih masih sempat berkomunikasi dengan teman di sebelahnya dalam posisi sama-sama terjebak.
“Setelah itu saya tidur dan tidak ingat lagi. Saya sempat mimpi minum lewat selang. Mimpi tapi kayak asli rasanya,” kata Alfatih saat bercerita diatas tempat tidur tempat ia di rawat di RSUD Notopuro Sidoarjo.
Dalam tidurnya selama tiga hari itu, Alfatih merasa mimpi berkeliling ke sejumlah tempat.
Namun, ia tak mengingat rinci. Ia hanya ingat, berkeliling menggunakan transportasi pickup.
Di dalam reruntuhan itu, Alfatih sebenarnya tertimpa gundukan pasir dan seng.
Namun komponen inilah yang menyelamatkan posisi Alfatih dari puing-puing bangunan.
Abdul Hanan bersyukur atas keselamatan putranya, Alfatih Cakra Buana, salah satu santri yang selamat setelah tertimpa reruntuhan bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo.
Selama proses evakuasi, Hanan mengaku hanya bisa berdoa sambil menunggu kabar dari tim SAR.
“Saya baca surat Al-Kahfi untuk minta kepada Allah SWT. Saya tak berani ke tempat. Saya diam saja di sana, sambil berdoa,” cerita Hannan saat ditemui SURYA, Jumat (3/10/2025).
Seperti orangtua santri lainnya, Hanan hanya bisa berharap kepada sang pencipta.
“Setiap ada evakuasi hidup. Alhamdulillah, berarti ada yang hidup. Berarti anak saya semakin besar harapan hidup. Karena ada yang evakuasi hidup. Berarti ada yang hidup. Mudah-mudahan Alfatih hidup,” ungkapnya.
Selain membaca Al Qur’an, Hanan juga tak lepas membaca Sholawat Al-Fatih.
“Saya baca sholawat terus. Sampai munanjat ke Allah, saya namai anak saya dengan Alfatih itu. Saya mengamalkan banyak Sholawat Al-Fatih, Itu pun mudah-mudahan dapat berkahnya ini,” tambahnya.
Hingga akhirnya seorang petugas SAR yang juga kenal dengannya memberi kabar gembira. Alfatih ditemukan selamat.
“Karena yang evakuasi ini kebetulan murid dari santrinya Bapak, sehingga kenal dengan saya. Tanya ke saya, ‘Yai, nama anak Yai dengan siapa?’ Alfatih Cakra Buana. Langsung nangis dia, langsung peluk saya. ‘Saya yang nyelamatkan barusan Yai, Alfatih Cakra Buana benar ada. Sekarang aku masuk lagi’. Saya nangis, sujud syukur, Ya Allah,” kata Hanan, mengungkap percakapannya dengan seorang Tim SAR.
Abdul Hanan mengaku, selama evakuasi ia mempercayakan sepenuhnya kepada tim SAR.
Ia berkeyakinan tim SAR yang lebih tahu cara untuk menyelamatkan para santri yang terjebak di bawah runtuhan beton.
“Saya mempercayakan sepenuhnya kepada tim SAR, saya berterima kasih kepada beliau-beliau yang masuk, itu resiko semua. Saya aja orang tuanya tidak berkorban seperti itu, seperti mereka. Mereka melihat mayat bagaimana. Masuk gorong-gorong, itu saya tidak bisa. Saya berterima kasih. Jadi saya percayakan mereka ahlinya ya sudah. Itu adalah bentuk usaha,” ungkapnya.
Hanan berpesan kepada orangtua santri lainnya untuk tidak putus asa atau merasa bersalah saat evakuasi.
Sumber: Tribun