Waduh! Mengutip Ulama Wahabi, Pengurus PWI-LS Sebut Habib Umar bin Hafidz Dajjal

DEMOCRAZY.ID – Pernyataan kontroversial kembali muncul dari Pengurus Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) (PWI-LS), KH Nur Ihya.

Dalam sebuah pernyataan yang beredar di media sosial, Nur Ihya mengutip pandangan ulama berhaluan Wahabi, Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri, yang menyebut Habib Umar bin Hafidz sebagai “Dajjal”.

Dalam pernyataannya, KH Nur Ihya mengutip langsung narasi panjang dari Syaikh Yahya Al Hajuri, yang dikenal sebagai tokoh Wahabi asal Yaman.

Dalam kutipan itu, Al Hajuri menuding bahwa Habib Umar bin Hafidz telah menyebarkan ajaran yang dianggap menyimpang dan menyerupai pemujaan terhadap dirinya sendiri.

“Bencana terburuk dari semua bencana adalah apa yang disebarkan oleh Umar bin Hafidz dan apa yang dia katakan dalam salah satu ceramahnya, di mana dia berkata: Barangsiapa meletakkan fotoku di bawah bantalnya ketika tidur akan melihat Rasulullah dalam mimpinya,” kutip KH Nur Ihya dari Al Hajuri.

Dalam narasi itu pula, Al Hajuri mengaku pernah menyaksikan langsung sejumlah fenomena di Tarim, Yaman—tempat di mana Habib Umar bin Hafidz memimpin lembaga pendidikan Islam Dar al-Musthafa.

Ia menuduh sejumlah murid Habib Umar, termasuk yang berasal dari Indonesia, melakukan tindakan berlebihan terhadap foto sang habib, seperti mencium dan menyimpannya dengan penuh penghormatan.

Lebih lanjut, Al Hajuri juga disebut mengutip pandangan Syekh Ahmed al-Moallem, Ketua Dewan Ulama Sunni di Hadhramaut, yang pernah menulis buku berjudul Para Penyembah Kuburan di Yaman serta Kunjungan ke Hud dan Kekejian serta Kesesatan di Dalamnya—keduanya berisi kritik terhadap praktik keagamaan yang dianggapnya berlebihan di wilayah tersebut.

Pernyataan KH Nur Ihya yang mengutip pandangan keras tersebut memicu reaksi dari sejumlah kalangan, terutama di lingkungan pesantren dan majelis taklim yang selama ini menjadikan Habib Umar bin Hafidz sebagai panutan dalam dakwah Islam moderat dan tasawuf.

Habib Umar bin Hafidz sendiri dikenal luas sebagai ulama asal Tarim, Yaman, yang menekankan ajaran cinta Rasulullah dan adab dalam dakwah.

Ribuan santrinya tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Habib Umar bin Hafidz ataupun lembaga Dar al-Musthafa terkait pernyataan yang dikutip KH Nur Ihya tersebut.

PWI-LS Tolak Safari Dakwah Habib Umar bin Hafidz akan Digeruduk dan Dibubarkan?

Isu panas merebak di jagat maya: organisasi bernama Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI-LS) dikabarkan menolak safari dakwah ulama internasional asal Yaman, Habib Umar bin Hafidz, yang dijadwalkan berlangsung di sejumlah kota di Indonesia pada Oktober 2025.

Bahkan, dalam unggahan-unggahan di media sosial, terselip narasi yang menyebut acara dakwah Habib Umar “akan digeruduk dan dibubarkan.”

Kabar ini langsung memantik perhatian publik, terutama jamaah dan simpatisan Habib Umar yang sudah menanti kedatangannya.

Di sisi lain, narasi penolakan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan munculnya gesekan di lapangan bila tidak segera diluruskan.

Beberapa unggahan akun yang mengaku simpatisan PWI-LS menilai safari dakwah Habib Umar tidak diperlukan.

Narasi yang mereka bangun adalah bahwa ulama-ulama Nusantara jauh lebih hebat dan berwibawa, sehingga tidak butuh ulama dari luar negeri.

Lebih jauh, sejumlah postingan bahkan menuding Habib Umar “hanya mengagung-agungkan keturunan Arab” dan menyebut klaim bahwa dirinya sebagai dzurriyah Rasulullah SAW adalah sebuah “kebohongan”.

Nada penolakan itu makin tajam ketika muncul kalimat “warga pribumi tertindas”, yang seolah memunculkan dikotomi antara “ulama keturunan Arab” dengan “ulama lokal”.

Unggahan ini lantas menyebar cepat, menimbulkan persepsi bahwa PWI-LS secara organisasi resmi menolak kehadiran Habib Umar.

Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari struktur pimpinan PWI-LS mengenai sikap mereka terhadap safari dakwah Habib Umar.

Narasi penolakan baru sebatas beredar di akun-akun simpatisan dan pendukung organisasi tersebut di media sosial.

Hal ini penting dicatat: ada perbedaan besar antara sikap resmi organisasi dan opini liar simpatisannya.

Jika tidak ada pernyataan resmi, maka isu ini bisa dikategorikan sebagai kabar yang masih perlu diverifikasi.

Habib Umar bin Hafidz adalah ulama besar asal Tarim, Yaman, pendiri Dar al-Mustafa — sebuah lembaga pendidikan Islam yang diakui dunia.

Beliau dikenal luas di berbagai negara, termasuk Indonesia, karena keilmuannya yang mendalam dalam hadis, tasawuf, dan dakwah yang menekankan cinta Rasulullah SAW.

Kunjungan Habib Umar ke Indonesia selalu menjadi magnet ribuan jamaah.

Jadwal safari dakwah tahun ini pun sudah diumumkan oleh Majelis Rasulullah SAW dan beberapa panitia lokal, dengan agenda tabligh akbar, rauhah, hingga dars subuh di sejumlah kota besar.

Ancaman penolakan—meski belum resmi—bisa menjadi titik rawan jika tidak segera ditangani.

Ajakan di media sosial berpotensi mengumpulkan massa yang termobilisasi untuk melakukan aksi di lapangan.

Jika tidak diantisipasi aparat keamanan dan penyelenggara, hal ini bisa memicu benturan antara pendukung Habib Umar dan pihak yang menolak.

Karena itu, langkah koordinasi antara panitia safari dakwah, tokoh masyarakat setempat, serta kepolisian menjadi krusial agar kegiatan dakwah tetap berjalan kondusif.

PWI-LS dikenal sebagai organisasi yang sering melontarkan kritik keras terhadap tokoh atau kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan mereka.

Dalam beberapa kasus, PWI-LS sempat terlibat perselisihan dengan kelompok keagamaan lain. Namun, tidak semua klaim penolakan berujung aksi nyata.

Dengan reputasi tersebut, wajar jika isu “penolakan” terhadap Habib Umar cepat viral, sekalipun belum tentu ada komando resmi dari pusat organisasi.

Di tengah memanasnya narasi penolakan ini, publik menilai penting adanya klarifikasi resmi.

Penyelenggara safari dakwah perlu menyampaikan pernyataan terbuka terkait keamanan acara.

PWI-LS, bila memang tidak menolak, sebaiknya segera meluruskan kabar di media sosial.

Sebaliknya, bila PWI-LS memang punya keberatan, mekanisme yang elegan adalah menyampaikannya lewat dialog, bukan dengan ancaman pembubaran.

Isu penolakan safari dakwah Habib Umar bin Hafidz oleh PWI-LS hingga kini lebih banyak bersumber dari unggahan simpatisan di media sosial daripada sikap resmi organisasi.

Publik diimbau tetap tenang, menunggu klarifikasi resmi, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang bisa memicu perpecahan.

Bagi aparat, isu ini menjadi alarm dini untuk memastikan hak kebebasan umat beragama terlindungi, dan menjaga agar safari dakwah seorang ulama internasional tidak ternodai oleh konflik horizontal yang sebenarnya bisa dicegah dengan komunikasi.

Sumber: SuaraNasional

Artikel terkait lainnya