Staf Ahli Komdigi Penyebab Sulitnya Tangkap Bjorka dan Pelaku Kejahatan Siber Lainnya

DEMOCRAZY.ID – Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) 2007-2022, Prof Henri Subiakto, menyebut sulitnya menangkap pelaku kejahatan siber seperti pemilik akun Bjorka.

“Bjorka ya enggak bisa itu. Kemudian Partai Socmet misalnya begitu, yang pernah berkelahi sama saya,” kata Prof Henri dilansir dari siniar Forum Keadilan Tv di Jakarta, Selasa, 4 November 2025.

Menurutnya, negara atau aparat penegak hukum tidak bisa apa-apa terhadap para pelaku tindak kejahatan siber atau daring tersebut.

“Itu kan pelaku-pelaku kejahatan online yang negara tidak bisa apa-apa,” tandasnya.

Negara atau aparat penegak hukum tidak bisa apa-apa karena negara tidak berdaulat atas ruang digitalnya. Salah satunya, data ada di luar negeri dan lemahnya regulasi platform digital.

Ia mencontohkan, ketika terjadi tindak pidana, misalnya di platform twitter yang kini bersulih nama menjadi X, jika platformnya tidak mau memberikan data, maka tindak pidana tersebut sulit diusut.

“[Seharusnya] platform-platform asing ini, oleh negara di mana mereka berada, itu diharuskan mengikuti undang-undang mereka,” ucapnya tegas.

Prof Henri lalu mencontohkan China. Negeri Tirai Bambu tersebut memiliki undang-undang (UU) yang sangat tegas mengatur platform digital.

“Itu mengharuskan perusahaan terbuka dari Pemerintah Cina. Jadi kalau pemerintah China mau buka data, itu harus mereka nurut,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, China menerapkan itu belajar dari US Cloud X. Amerika mulai menerapkannya pada tahun 2018.

“Ini Amerika duluan,” katanya.

Menurut dia, jadi bukan hanya cyber security saja, tetapi juga negara harus mempunyai kedaulatan digital.

“Pertama, kendali terhadap data itu harus dimiliki oleh bangsa sendiri,” ucapnya.

Selanjutnya, kendali terhadap infrastruktur dan cyber security-nya juga harus dimiliki bangsa sendiri.

“Kalau kita tidak, itu data kita ada di luar negeri,” ujarnya.

Itu terjadi karena adanya regulasi, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012. PP era SBY itu diubah Jokowi dengan PP Nomor 71 Tahun 2019.

“Pasal 21 [PP 71 Tahun 2019], itu salah satu yang menyebabkan data kita ada di luar negeri,” ujarnya.

Sumber: Konteks

Artikel terkait lainnya