Pasca KPU Berikan Dokumen Ijazah S1 Jokowi: ‘Terbaca Ada Persekongkolan Jahat’

Pasca KPU Berikan Dokumen Ijazah S1 Jokowi: ‘Terbaca Ada Persekongkolan Jahat’

Oleh: Ali Syarief | Jurnalis dan Penulis Opini Politik

Di negeri ini, kebenaran sering kali datang terlambat — kalau pun datang, tak jarang dalam keadaan babak belur.

Begitu pula dengan kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo yang kembali mencuat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyerahkan salinan ijazah S1 Jokowi kepada Bonatua Silalahi, pelapor dalam kasus dugaan pemalsuan ijazah presiden.

Langkah yang tampak administratif itu seketika menyalakan bara lama yang belum padam.

Dalam amplop berstempel lembaga negara itu, publik membaca sesuatu yang lebih besar dari sekadar dokumen: bukti hukum yang berpotensi membuka kembali lembaran kebenaran yang selama ini dijaga rapat-rapat.

Penyerahan dokumen itu menjadi menarik karena justru objek penelitian yang sama sebelumnya diteliti oleh Roy Suryo, Rismon, dan Tifa, yang mengklaim menemukan berbagai kejanggalan pada ijazah Jokowi.

Hasil penelitian mereka — yang menyebut ada kemungkinan 99,9 persen ketidakaslian — memang belum diverifikasi lembaga resmi. Namun kini, ketika KPU sendiri menyerahkan dokumen itu kepada Bonatua Silalahi, maka posisi dokumen tersebut naik derajat: dari sekadar bahan perdebatan publik menjadi alat bukti hukum.

Konteks ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah KPU telah melakukan verifikasi yang memadai terhadap dokumen pencalonan presiden saat proses pendaftaran berlangsung?

Dan jika benar ada perbedaan atau kejanggalan sebagaimana disebut para peneliti, siapa yang bertanggung jawab?

Dalam situasi ini, tanggung jawab KPU tidak lagi administratif — melainkan konstitusional.

Bayangan Persekongkolan

Fenomena penyerahan dokumen ini menyisakan aroma yang tak sedap: semacam persekongkolan sistemik antara lembaga-lembaga negara dalam melindungi kepentingan kekuasaan.

Jika benar terjadi, publik berhak menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Sebab lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kejujuran demokrasi justru tampak berperan sebagai pelindung dari kemungkinan kebohongan politik.

Kita bisa memahami mengapa masyarakat kini semakin sinis.

Laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pencemaran nama baik oleh pihak-pihak yang menuduh ijazahnya palsu, misalnya, kini menghadapi ujian logika.

Jika objek yang sama telah resmi menjadi bukti hukum, maka laporan pencemaran nama baik itu kehilangan relevansinya — bahkan bisa “gugur dengan sendirinya”.

Dalam situasi seperti ini, kepolisian justru perlu menyelidiki substansi laporan Bonatua Silalahi, bukan sekadar memproses perasaan tersinggung penguasa.

Negara dan Kejujuran yang Lenyap

Pertanyaan publik kini sederhana tapi tajam: apakah negara masih punya keberanian untuk jujur kepada rakyatnya?

Jika KPU — lembaga yang bertugas memverifikasi syarat pencalonan tertinggi di republik ini — tidak mampu menjelaskan dengan transparan proses pemeriksaan dokumen seorang calon presiden, maka seluruh proses demokrasi kehilangan pijakannya.

Kejujuran bukan sekadar nilai moral, tetapi fondasi legitimasi kekuasaan. Begitu ia retak, semua yang berdiri di atasnya ikut goyah.

Demokrasi sejatinya tidak hanya soal pemilu, tetapi juga soal kepercayaan. Dan kepercayaan hanya bisa hidup dalam terang keterbukaan.

KPU dan lembaga penegak hukum kini berdiri di simpang jalan antara keberanian menegakkan kebenaran atau menjadi bagian dari sejarah kelam manipulasi negara.

Titik Balik Kesadaran

Kontroversi ini seharusnya menjadi titik balik kesadaran nasional.

Bahwa di tengah runtuhnya moralitas birokrasi dan pudarnya rasa malu elite, rakyat harus kembali menjadi penjaga utama kebenaran.

Jika lembaga negara saling bersekongkol untuk menutupi kejanggalan, maka tugas rakyatlah untuk membuka kedoknya. Karena hanya di tangan rakyat, hukum menemukan kembali rohnya.

Pada akhirnya, kejujuran adalah kemewahan dalam politik hari ini.

Namun justru karena kelangkaannya itulah, setiap upaya mencari kebenaran — betapapun pahit — layak dihormati.

Sebab negara yang menolak menghadapi kebenaran, sejatinya sedang menggali kuburannya sendiri. ***

Artikel terkait lainnya