Putra Elite PKS Gabung PSI, Pengamat Singgung Gagalnya Kaderisasi: Terpaksa Pindah ke Lain Hati!

DEMOCRAZY.ID – Kepindahan Taufiqur Rahman, putra Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, dari PKS ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi sorotan tajam pengamat politik.

Langkah ini dinilai sebagai tamparan bagi sistem kaderisasi PKS yang selama ini dikenal ketat dan militan.

Pengamat politik Adi Prayitno menyebut fenomena ini sebagai “kegagalan sosialisasi politik” dalam keluarga politisi senior.

Dalam analisisnya yang diunggah di kanal YouTube pada Sabtu (25/10/2025), ia mempertanyakan efektivitas internalisasi nilai-nilai partai di lingkungan keluarga Mahyeldi.

“Ini bisa dimaknai sebagai salah satu bentuk bagaimana internalisasi nilai-nilai PKS di keluarga Pak Mahyeldi sangat gagal dan tidak diaplikasikan sehingga salah satu anaknya harus pindah ke lain hati,” tegas Adi.

Kepindahan ini menjadi ironi tersendiri mengingat PKS dikenal sebagai partai dengan struktur kaderisasi berjenjang dan tertutup.

Mahyeldi sendiri merupakan politisi senior dengan posisi strategis di PKS, namun gagal mempertahankan putranya di jalur yang sama.

Taufiqur Rahman, yang sebelumnya mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sumbar 2024 lewat PKS namun tidak lolos, kini menjabat sebagai Plt Ketua PSI Sumatera Barat.

Perpindahan ini menimbulkan pertanyaan tentang faktor pragmatisme politik di balik keputusan tersebut.

Adi Prayitno menilai kasus ini menegaskan lemahnya diferensiasi ideologi antar partai di Indonesia.

“Mau bergabung dengan partai Islam, partai nasionalis, atau partai nasionalis religius, dalam praktiknya sama saja. Ujung-ujungnya sebagai instrumen untuk mengamankan kepentingan politik,” ungkapnya.

Menurutnya, kepindahan Taufiqur Rahman juga mengindikasikan bahwa PSI memberikan “ruang yang lebih luas” dibanding PKS.

Pola serupa sebelumnya terlihat dengan bergabungnya sejumlah politisi Nasdem seperti Ahmad Ali dan Bestari Barus ke PSI.

Pengamat ini menekankan bahwa perpindahan partai sudah menjadi “perkara biasa” di Indonesia, mulai dari Dedi Mulyadi (Golkar ke Gerindra), Maruarar Sirait (PDIP ke Gerindra), hingga Sandiaga Uno (Gerindra ke PPP).

“Hebatnya, sekalipun dalam satu keluarga beda partai, di Indonesia ini secara praktik politik rukun dan guyub. Ini menegaskan bahwa ideologi, visi misi dan kepentingan partai di Indonesia relatif sama,” kritik Adi.

Ia menyimpulkan bahwa yang membedakan partai politik di Indonesia hanya jargon yang dimunculkan, sementara secara praktik semua sama-sama mengejar kepentingan elektoral semata.

Fenomena ini, menurut Adi, merupakan “cacat bawaan” sistem presidensialisme multipartai Indonesia yang gagal menciptakan diferensiasi ideologis yang jelas antar partai politik.

Sumber: JakartaSatu

Artikel terkait lainnya