Purbaya Yudhi Sadewa tampaknya bukan sekadar pejabat teknokrat biasa. Gerak dan ucapannya belakangan ini menunjukkan pola yang terlalu sistematis untuk dianggap kebetulan.
Dalam setiap pernyataan publik, Purbaya seolah sedang menjalankan misi yang jauh lebih besar: mengurai simpul-simpul busuk birokrasi tanpa perlu menunjuk hidung siapa pun.
Dimulai dari kritiknya soal proyek Whoosh, lalu berlanjut ke pembahasan dana daerah mengendap, Purbaya tampak konsisten menyoroti kebijakan yang selama ini menjadi zona nyaman bagi birokrat lama.
Ia menyebut bahwa sebagian pemerintah daerah justru menaruh dana publik di deposito dan giro, bukan menyalurkannya untuk kebutuhan masyarakat.
Dengan kata lain, uang rakyat dijadikan alat mencari bunga oleh pejabat daerah, sebuah praktik yang diam-diam merusak moral fiskal nasional.
Namun yang menarik, Purbaya tak pernah menyerang secara personal. Ia tak menyebut nama, tak menuduh siapa pun secara langsung.
Tapi setiap kalimatnya seperti paku di papan, membuat mereka yang bermain di balik meja birokrasi mulai gelisah sendiri.
Gaya komunikasinya yang tenang justru membuat banyak pemain kotor muncul ke permukaan tanpa perlu dipanggil.
Dalam beberapa wawancara, Purbaya dengan rendah hati menyebut bahwa apa pun yang ia lakukan adalah versi paling lembut dari keinginan Prabowo Subianto.
Kalimat ini bisa dibaca sebagai isyarat kuat bahwa ada agenda besar pembersihan yang tengah berjalan, namun dilakukan tanpa kegaduhan.
Prabowo, yang dikenal memiliki gaya kepemimpinan keras, tampaknya memilih jalur elegan untuk melakukan reformasi birokrasi dan fiskal.
Alih-alih gebrakan frontal, ia menggunakan tangan dingin Purbaya untuk membuat sistem bekerja sendiri hingga akhirnya yang kotor terungkap oleh perilakunya sendiri.
Ini bukan sekadar audit anggaran, melainkan semacam pembersihan politik yang menyasar akar-akar patronase, kebiasaan manipulatif, dan mental rente yang tumbuh subur selama satu dekade terakhir.
anyak pengamat melihat langkah ini sebagai strategi awal Prabowo untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi tanpa harus menabrak langsung figur sang pendahulu.
Caranya, dengan membiarkan fakta-fakta birokrasi yang rusak terungkap melalui mekanisme kebijakan, bukan pernyataan politis.
Setiap kali Purbaya berbicara soal efisiensi anggaran, pengendapan dana, atau pemborosan fiskal, sebenarnya ia sedang menunjukkan kerusakan sistemik yang terbentuk di era sebelumnya.
Tapi ia melakukannya dengan gaya teknokrat, penuh data dan minim emosi, namun efek politiknya sangat dalam.
Bisa jadi inilah bentuk revolusi halus Prabowo: bukan dengan mengubah wajah pemerintahan, melainkan dengan membongkar cara lama yang selama ini menjadi sarang oligarki fiskal.
Purbaya tampak menjalankan dua peran sekaligus, ekonom dan katalis politik.
Ia bukan hanya memperbaiki sistem, tapi juga menguji siapa saja yang siap hidup di era baru pemerintahan Prabowo, era yang menuntut kecepatan, transparansi, dan keberanian memotong rantai rente.
Maka bisa jadi benar, langkah-langkah Purbaya bukan sekadar kebijakan teknis.
Ia sedang memimpin sebuah operasi sunyi untuk membersihkan akar-akar rusak politikimus yang selama ini membebani pemerintahan.
Jika Prabowo berhasil menjaga ritme ini, tegas di dalam dan tenang di luar, maka reformasi besar yang tidak berhasil dilakukan selama dua periode sebelumnya bisa benar-benar dimulai, bukan lewat wacana, tapi lewat tindakan nyata di meja anggaran. ***