Gibran Ngegame dan Salah Membaca UUD: Wapres Tapi Minus Konteks!

Gibran Ngegame dan Salah Membaca UUD Wapres Tapi Minus Konteks!

Oleh: Damai Hari Lubis | Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

 

Di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang (8/11/2025), Gibran Rakabuming Raka, didampingi Kapolri dan Menko Pangan, menyampaikan pidato terkait sektor swasembada pangan.

Secara substansial, pidato Gibran berisi permintaan bantuan agar aparat dan kementerian terkait bekerja sama demi mencapai “cita-cita presiden”.

Namun, inti pidato ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah seorang Wakil Presiden memahami makna kontekstual dari tujuan bangsa dan negara, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945?

Alih-alih menekankan pemahaman konstitusi dan konteks pembangunan ekonomi—termasuk memajukan kesejahteraan umum—Gibran lebih banyak terkesan fokus pada kegiatan yang proporsional bagi remaja, seperti ngegame, dibanding menyiapkan diri sebagai Wakil Presiden.

Siapakah seharusnya subjek pencapaian cita-cita bangsa dan negara? Tentunya adalah penyelenggara negara atau pelaksana eksekutif tertinggi yang dipimpin Presiden.

Pemisahan antara cita-cita presiden dengan cita-cita bangsa dan negara, sebagaimana ditampilkan Gibran, menunjukkan ketidakmampuan memahami hubungan fundamental antara kepemimpinan eksekutif dan tujuan konstitusional: memajukan kesejahteraan umum melalui penyediaan kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, dan papan.

Dalam konteks pidato di Tigaraksa, publik seharusnya menyimpulkan bahwa Gibran “salah membaca” dan tidak mampu menghadirkan pemikiran seorang Wakil Presiden.

Kesalahan ini bukan sekadar perbedaan perspektif, melainkan miskonsepsi mendasar: seolah cita-cita presiden bisa dipisahkan dari cita-cita bangsa, padahal keduanya adalah satu kesatuan.

Ketidakmampuan Gibran semakin jelas ketika dianalisis dari sisi struktur kalimat dan tata bahasa UUD 1945. Frasa “Memajukan kesejahteraan umum untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat” menuntut pemahaman:

  • Subjek: Pemerintah atau penyelenggara negara (meski tidak disebut eksplisit)
  • Predikat: Meningkatkan taraf hidup
  • Objek: Masyarakat Indonesia
  • Keterangan tujuan: Menyediakan kebutuhan sandang, pangan, dan papan

Namun Gibran gagal memaknai struktur sederhana ini, yang seharusnya menjadi dasar arahan bagi setiap pejabat negara.

Ironisnya, tamatan SMP yang dipaksakan setara SMA ini justru diplot untuk duduk sebagai Wakil Presiden dua periode oleh sang ayah.

Hasilnya? Sebuah cermin nyata ketidaklayakan dirinya dalam memberikan arahan kepada pejabat negara maupun tamu yang hadir.

Pertanyaan besar muncul: kenapa sosok seperti ini tetap dijadikan Wakil Presiden oleh Jokowi?

Dari sisi konstitusi, pengalaman, dan kemampuan berpikir strategis, keputusan tersebut jelas tidak pantas.

Publik berhak bertanya: apakah ini sebuah langkah politis berbasis nepotisme atau sekadar ambisi keluarga yang mengabaikan kapasitas dasar seorang Wakil Presiden?

Kesimpulannya, Gibran menunjukkan bahwa hobinya ngegame dan latar pendidikan yang dipaksakan setara SMA tidak cukup membekalinya untuk memahami tugas konstitusional.

Menjadi Wakil Presiden bukan soal kedekatan keluarga dengan Presiden, melainkan kemampuan membaca, memahami, dan mengeksekusi tujuan bangsa dan negara.

Pada titik ini, publik harus sadar: citra figur publik dan legitimasi konstitusional tidak bisa diganti dengan promosi keluarga atau status politik semata. ***

Artikel terkait lainnya