DEMOCRAZY.ID – Data tak pernah berbohong, tapi kekuasaan sering menutupinya dengan kata-kata manis.
Tahun 2025, PT Freeport menghasilkan 2,8 juta ton emas. Namun, sebagaimana diungkap Purbaya, Indonesia hanya mendapat 0,03 persen dari hasilnya.
Angka kecil itu menyingkap kebohongan besar: kedaulatan sumber daya yang selama ini hanya hidup di spanduk dan pidato.
Pemerintahan Joko Widodo mengklaim telah menegakkan kedaulatan ekonomi melalui kepemilikan mayoritas saham di Freeport Indonesia.
Di mata publik, langkah itu dianggap tonggak sejarah — seolah tambang emas di Papua akhirnya benar-benar menjadi milik bangsa.
Namun, fakta yang diungkap Purbaya justru membalik narasi itu.
Kepemilikan saham ternyata tak berarti kendali. Freeport tetap dikuasai oleh struktur manajemen asing yang menentukan seluruh keputusan strategis: dari eksplorasi, produksi, hingga ekspor.
Indonesia memang memegang 51 persen saham, tetapi dalam praktiknya hanya menjadi pemegang “saham tidur” yang tak berdaya di meja pengambil keputusan.
Dari setiap ton emas yang digali dari perut bumi Papua, keuntungan besar mengalir keluar negeri, sementara negara hanya mendapat remah dari sisa pesta.
Kedaulatan yang diklaim pemerintah berubah menjadi simbol kosong. Kata “nasionalisasi” dipakai sebagai alat propaganda, bukan sebagai langkah pembebasan ekonomi.
Inilah bentuk penjajahan modern yang paling halus — tanpa senjata, tanpa perang, tapi mematikan.
Ia bersembunyi di balik istilah investasi, di balik laporan keuangan dan pasal-pasal perjanjian.
Kekuasaan politik menjual ilusi keberhasilan, sementara kedaulatan ekonomi diam-diam digadaikan.
Purbaya, dengan data yang telanjang, menyingkap wajah asli kebijakan tambang Jokowi.
Ia memperlihatkan bahwa “penguasaan saham” hanyalah permainan angka, bukan pergeseran kendali.
Dalam logika politik citra, keberhasilan diukur dari simbol, bukan dari manfaat yang benar-benar dirasakan rakyat.
Sementara itu, masyarakat di sekitar tambang tetap hidup dalam kemiskinan. Jalan menuju lokasi tambang memang diaspal mulus, tapi rumah penduduk tetap reyot.
Listrik berlimpah di area operasional, tapi padam di kampung sebelah.
Mereka yang seharusnya menjadi tuan di tanah sendiri justru menjadi buruh di tambang yang katanya milik bangsa.
Kini tirai dusta itu telah terbuka. Fakta yang diungkap Purbaya menampar wajah kekuasaan yang selama ini meninabobokan publik dengan retorika kedaulatan.
Indonesia belum merdeka secara ekonomi. Ia masih jongkok di hadapan modal asing, meski berdiri gagah di depan kamera.
Selama emas kita lebih banyak memperkaya korporasi luar ketimbang rakyat sendiri, kemerdekaan hanyalah slogan yang kosong gema.
Dan selama kekuasaan terus menutupinya dengan narasi “keberhasilan”, tangisan bangsa ini akan tetap terpendam — seperti emas yang tak pernah bisa kita miliki sepenuhnya.
Sumber: FusilatNews