DEMOCRAZY.ID – Skandal keuangan di balik proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kembali mencuat setelah pengakuan terbuka dari mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut proyek tersebut “busuk sejak awal.”
Pernyataan itu seolah menjadi testimoni moral paling jujur tentang kegagalan tata kelola fiskal di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun ironisnya, di tengah kritik keras itu, muncul pertikaian semu antara Luhut dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Keduanya tampak saling menegasikan tanggung jawab pembayaran utang KCIC, tetapi di balik layar, justru terlibat dalam skema finansial yang sama: pengalihan beban utang negara melalui PT Danantara—entitas anak INA yang disebut-sebut menjadi “alat cuci” utang negara dengan bungkus legalitas formal.
Menurut Firman Tendry Masengi, pendiri Recht Institute, manipulasi ini bermula dari Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 89 Tahun 2023, yang mengatur penyertaan modal negara (PMN) melalui skema special purpose vehicle (SPV) seperti Danantara.
Secara administratif, skema itu diklaim tidak bersumber langsung dari APBN.
Tetapi, secara hukum keuangan negara, justru bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Danantara bukan entitas otonom murni. Dana awalnya tetap dari APBN melalui PMN. Ketika Danantara membayar utang KCIC, maka secara hukum, itu adalah uang negara juga,” jelas Firman, Jumat (24/10/2025).
Dengan begitu, pernyataan Purbaya yang menyebut “negara tidak membayar utang KCIC” dianggap menyesatkan publik dan menyalahi prinsip transparansi fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU Keuangan Negara.
Kebohongan, menurut Firman, bukan pada data, tetapi pada rekayasa logika hukum yang sengaja dibuat untuk menyamarkan jejak fiskal.
Secara struktural, PT Danantara merupakan anak usaha dari Indonesia Investment Authority (INA) yang dibentuk melalui PP Nomor 74 Tahun 2020 sebagai pelaksana UU Cipta Kerja.
Dengan begitu, setiap dana yang mengalir ke Danantara sejatinya memiliki jejak fiskal publik karena bersumber dari dana negara.
“Pemindahan beban utang KCIC ke Danantara bukan penyelamatan fiskal, tapi manipulasi semantik hukum. Angka hanya dipindah dari APBN ke neraca korporasi negara,” kata Firman.
Menurutnya, langkah itu merupakan pelanggaran atas Pasal 30 ayat (1) UU Keuangan Negara, bahkan berpotensi termasuk perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena menyamarkan sumber keuangan negara.
Skema KCIC–Danantara juga dinilai bertentangan dengan semangat UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang menekankan prinsip good corporate governance dan akuntabilitas publik.
Firman menjelaskan, ada tiga pelanggaran mendasar:
1. Tidak adanya persetujuan DPR atas penggunaan dana yang bersumber dari APBN.
2. Pengaburan garis batas antara keuangan negara dan keuangan korporasi negara.
3. Pengabaian prinsip pemerintahan terbuka (open government) dan partisipasi publik.
“Ini bukan hanya soal teknis fiskal, tapi soal etika konstitusional. Negara menjalankan kebijakan dengan menyamarkan asal-usul uang publik,” ujarnya.
Drama perbedaan sikap antara Luhut dan Purbaya di media publik, menurut Firman, hanyalah pertikaian kosmetik.
Di balik layar, keduanya sama-sama menjaga kepentingan politik-fiskal Jokowi untuk mempertahankan proyek KCIC yang secara ekonomi dianggap sudah kolaps.
“Ini bukan konflik ideologis, tapi strategi komunikasi untuk menciptakan kesan tanggung jawab. Padahal, secara substansi, mereka satu kepentingan: melindungi proyek gagal dengan uang negara,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjutnya, mencerminkan disfungsionalitas mekanisme checks and balances dalam tata kelola negara.
Tidak ada lembaga yang melakukan koreksi serius terhadap penyimpangan kebijakan fiskal tersebut.
Firman menilai, kebohongan fiskal Purbaya bukan karena niat pribadi, tetapi karena struktur kebijakan yang sejak awal memang disusun untuk menipu akal publik.
“Menolak bayar utang lewat APBN tapi membayarnya lewat lembaga yang dibiayai APBN juga, itu sama saja,” tegasnya.
Ia menambahkan, proyek KCIC kini menjadi simbol kebusukan moral hukum negara—di mana kebohongan dijadikan instrumen kebijakan publik, dan rakyat dipaksa menanggung akibat dari ilusi fiskal yang dikemas rapi dalam bahasa hukum dan regulasi.
“Busuknya bukan hanya pada proyek fisik kereta cepat, tapi juga pada etika konstitusional dan moral pemerintahan yang mempermainkan keuangan negara,” tutup Firman.
Sumber: RadarAktual