DEMOCRAZY.ID – Langkah Projo menghapus siluet wajah Joko Widodo (Jokowi) dari logonya dan mengganti ikon organisasi itu menuai sorotan tajam.
Bukan hanya karena perubahan visual, tapi karena makna politik yang dikandungnya yakni pergeseran kesetiaan dari Jokowi ke Prabowo Subianto.
Analis politik, Ray Rangkuti menilai, langkah itu lebih mirip sinyal politik oportunistik ketimbang upaya transformasi nilai.
Perubahan identitas organisasi politik menurutnya, tidak selalu diperlukan untuk menunjukkan dukungan.
“Tidak perlu. Lebih lagi jika dukungan itu karena visi dan misi yang sejalan,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) itu, Selasa, 4 November 2025.
Menurut Ray, perubahan identitas politik tidak harus diwujudkan dalam simbol baru.
Justru dengan mempertahankan lambang lama, sebuah organisasi bisa menunjukkan konsistensi ideologis dan loyalitas terhadap prinsip perjuangan, bukan terhadap figur yang sedang berkuasa.
“Jika sejak awal dukungan itu muncul karena Pak Jokowi mendukung Prabowo-Gibran, lalu kenapa sekarang logo dan ikon yang selama ini menggambarkan Jokowi harus dihapus?” tuturnya.
Ray tidak menampik bahwa Projo punya dasar kuat untuk mendukung pemerintahan baru karena restu Jokowi sudah diberikan sejak masa kampanye.
Namun, ketika wajah Jokowi, ikon yang melekat pada Projo sejak 2014 justru dihapus, pesan politiknya jadi berbeda.
Bagi Ray, langkah itu bukan sekadar ‘penyesuaian zaman”, melainkan bentuk penegasan ulang siapa yang kini dianggap pusat gravitasi kekuasaan.
“Kalau yang dikejar adalah kekuasaan, tentu saja nama, logo, dan ikon harus disesuaikan dengan yang sedang berkuasa. Itu bentuk penegasan,” katanya.
Ia menilai, pola semacam ini bukan hal baru. Dalam politik Indonesia, banyak kelompok dan tokoh yang mengubah narasi dan simbol demi mendekat ke lingkar kekuasaan.
“Semua tindakan itu dibungkus dengan kata halus yaitu demi keberlanjutan,” kritik Ray.
Lebih lanjut Ray menyebut akar budaya politik semacam ini ikut tumbuh di era Jokowi sendiri. Sebagai mantan aktivis 98, Ray menilai Jokowi telah membentuk kultur politik di mana loyalitas dan ideologi kerap digeser oleh kepentingan kekuasaan dan keluarga.
“Pak Jokowi sendiri yang memperkenalkan situasi ini. Orang berlomba mengejar ambisi diri atau keluarga, meskipun demi itu harus meninggalkan mereka yang dulu ikut membesarkan kariernya,” kata dia.
Menurut Ray, apa yang terjadi dengan Projo hanyalah cerminan dari ekosistem politik yang dibangun atas dasar pragmatisme kekuasaan, di mana transformasi dijadikan alasan, padahal substansinya adalah adaptasi terhadap siapa yang sedang memegang kendali negara.
Ray pun mengingatkan publik agar tidak terseret dalam gelombang politik simbolik semacam ini. Ia menyebutnya sebagai bentuk politik kultural dan oportunistik, yang kini justru menjadi wajah baru perpolitikan nasional.
“Lelaku politik seperti ini tidak layak dicontoh, apalagi diikuti,” tegas Ray.
Sumber: Konteks