DEMOCRAZY.ID – Polemik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh kembali mencuat setelah sejumlah pengamat menyoroti dugaan kejanggalan dalam pembiayaan, manajemen, hingga proses pengambilan kebijakan yang melibatkan sejumlah tokoh penting di pemerintahan era Presiden Joko Widodo.
Pengamat politik Mustari, yang dikenal publik dengan nama SBK, menilai proyek strategis nasional tersebut tidak hanya bermasalah dari sisi teknis dan ekonomi, tetapi juga menyimpan persoalan etika politik serta akuntabilitas publik yang belum sepenuhnya terjawab.
“Proyek ini dari awal sudah menyimpang dari prinsip good governance. Ada pembengkakan biaya luar biasa, ketidakjelasan skema utang, dan indikasi konflik kepentingan antara pejabat dan perusahaan pelaksana,” ujar Mustari saat dihubungi, Senin (27/10/2025).
Diketahui, proyek Kereta Cepat Whoosh yang awalnya diperkirakan menelan biaya sekitar US$6 miliar, kini membengkak hingga lebih dari US$8 miliar.
Pemerintah bahkan dikabarkan harus menambah penyertaan modal negara (PMN) dan menjamin utang melalui lembaga keuangan negara, meskipun sebelumnya berjanji tidak akan menggunakan dana APBN.
Menurut Mustari, pembengkakan biaya tersebut seharusnya menjadi alarm bagi lembaga pengawasan seperti BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk melakukan audit menyeluruh terhadap semua prosesnya, mulai dari tender, perubahan skema kerja sama, hingga pengelolaan dana pinjaman dari pihak China.
“Jangan biarkan publik hanya mendengar perdebatan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Yang lebih penting adalah bagaimana proyek sebesar ini bisa diaudit secara terbuka agar tidak ada yang dirugikan,” tegas Mustari.
Selain biaya, Mustari juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal di proyek tersebut.
Menurutnya, sejak awal pemerintah terlalu tergesa-gesa menjadikan Whoosh sebagai legacy project tanpa menyiapkan tata kelola yang kokoh.
“Kereta cepat ini seolah jadi simbol prestise, bukan efisiensi. Padahal, publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas setiap keputusan besar—terutama jika melibatkan dana publik,” tambahnya.
Ia menilai, kasus Whoosh menjadi cermin bagaimana proyek besar bisa terseret dalam pusaran kepentingan bisnis dan politik apabila tidak diawasi secara transparan.
Mustari mendesak agar lembaga penegak hukum turun tangan secara independen untuk mengungkap potensi penyimpangan, bukan sekadar menunggu laporan resmi.
Ia menilai audit investigatif harus melibatkan unsur publik agar tidak dianggap politis.
“KPK dan Kejaksaan harus berani membuka semua dokumen kontrak, proses pembiayaan, serta relasi antara BUMN dan perusahaan asing. Kalau semuanya bersih, tidak perlu takut diaudit,” ujarnya.
Sejak diluncurkan pada Oktober 2023, Kereta Cepat Whoosh sempat menjadi kebanggaan nasional.
Namun seiring waktu, muncul kritik terkait tarif yang dianggap terlalu mahal, konektivitas antarkota yang belum efisien, serta minimnya dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar jalur proyek.
Kini, narasi kebanggaan itu bergeser menjadi pertanyaan besar: seberapa besar beban keuangan negara akibat proyek ini, dan siapa yang bertanggung jawab atas semua keputusan yang diambil?
Kasus Whoosh membuka babak baru dalam diskusi mengenai transparansi proyek infrastruktur di Indonesia.
Pengamat menilai, pemerintahan baru perlu menjadikan proyek ini sebagai pelajaran penting tentang pentingnya akuntabilitas publik dan batas tegas antara kepentingan politik dan ekonomi negara.
“Whoosh adalah simbol kemajuan, tapi juga pengingat bahwa kemajuan harus disertai kejujuran dan tanggung jawab,” tutup Mustari SBK.
Sumber: RadarAktual