Menohok! Anies Baswedan Kritik Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, Singgung Janji-Janji

DEMOCRAZY.ID – Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintahan saat ini dalam acara “Dialog Kebangsaan Suara Rakyat” di Padang, Sabtu (1/11/2025).

Ia mempertanyakan realisasi janji-janji besar pemerintah yang telah berjalan satu tahun atau 20 persen dari masa jabatan lima tahun.

“Setelah berjalan 20 persen ini, apakah janji-janji besar itu paling tidak terasa sudah 20 persen di lapangan? Janji soal jutaan lapangan kerja, jutaan rumah rakyat, ratusan fakultas kedokteran baru. Apakah sudah mulai kelihatan bentuknya di kabupaten, di nagari, di pasar, di rumah-rumah warga?” tanya Anies di hadapan ratusan hadirin.

Tiga Keresahan Besar Rakyat

Anies mengidentifikasi tiga keresahan utama masyarakat: urusan makan, urusan kerja, dan urusan masa depan.

Ia menyoroti kesenjangan antara laporan ekonomi yang terdengar bagus dengan kondisi riil masyarakat di lapangan.

“Jurangnya ada di sini. Angka di atas nampak tumbuh, tapi di bawah merasa was-was,” ujar Anies, menggambarkan kondisi di mana harga beras, lauk, transportasi, pendidikan, dan kesehatan terus menekan keluarga.

Terkait lapangan kerja, ia mengkritisi klaim penurunan pengangguran yang sebenarnya hanya perpindahan dari pekerjaan formal ke informal dengan perlindungan sosial dan hukum yang lemah serta upah tak layak.

Kritik Keras untuk Proyek Prestisius

Dengan tegas, Anies mengingatkan pengalaman proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebagai contoh buruk alokasi anggaran negara.

“Kita ingat pernah ada pembangunan kereta api cepat dari Jakarta ke Bandung. Yang menanggung adalah rakyat dari Sabang sampai Merauke, yang merasakan…” katanya, disambut tepuk tangan hadirin.

Ia menekankan bahwa dalam kondisi tekanan hidup seperti sekarang, negara tidak boleh sibuk mengejar seremoni dan proyek berbiaya besar yang manfaatnya belum tentu dirasakan rakyat, apalagi menimbulkan beban utang.

Struktur Pemerintah Makin Gemuk

Anies juga menyoroti inkonsistensi pemerintah yang strukturnya makin gemuk dengan penambahan lembaga-lembaga baru, sementara daerah dan rakyat diminta berhemat.

“Ketika rakyat mendengar pejabat bicara efisiensi, rakyat tentu senang. Tapi ketika melihat lembaga dan fasilitas mereka justru bertambah, rakyat jadi bingung,” kritiknya.

Ia menambahkan, teladan berhemat tidak bisa dimulai dari bawah, tetapi harus dimulai dari yang paling atas.

Pola “Viral Dulu, Cabut Kemudian”

Mantan Menteri Pendidikan ini juga mengkritik kebiasaan pemerintah yang melontarkan wacana kebijakan tanpa perhitungan matang, membuat pasar dan dunia usaha bingung, baru kemudian ditarik kembali.

“Pola viral dulu cabut kemudian sering terjadi seperti ini. Ini tidak sehat untuk kredibilitas kebijakan, tidak sehat untuk iklim politik, tidak sehat untuk iklim ekonomi,” tegasnya.

Peran Gerakan Rakyat

Di hadapan para pendukungnya, Anies menekankan pentingnya gerakan rakyat sebagai pengeras suara publik yang tertata.

Ia mengajak untuk mendirikan pos pantau harga dan layanan di setiap daerah untuk memantau harga beras, ongkos sekolah, dan bansos.

“Banyak keluhan ibu-ibu di rumah tak menjadi viral. Banyak keluhan petani di lapangan tidak menjadi viral. Kalau gerakan rakyat menangkap itu dan menyuarakan, maka insyaallah akan jadi perhatian,” katanya.

Menggaungkan Warisan Pemikiran Minangkabau

Memilih Padang sebagai lokasi pidato, Anies menghubungkan pesannya dengan warisan intelektual tokoh-tokoh besar Minangkabau seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan Tan Malaka.

“Bung Hatta tumbuh besar dalam suasana penjajahan, tapi nalarnya tidak pernah ikut terjajah. Bung Hatta hidup di dalam suasana penuh tekanan, tapi pikirannya tidak pernah tertekan,” kenangnya.

Ia menegaskan bahwa dari tanah Minang dulu lahir gagasan bahwa kemerdekaan harus terasa dalam bentuk keadilan, dan hari ini suara yang sama harus digaungkan: Indonesia harus kembali kepada rakyatnya.

Koreksi Bukan Permusuhan

Menutup pidatonya, Anies menekankan bahwa koreksi bukanlah permusuhan, melainkan tanda kepedulian terhadap masa depan bangsa.

“Yang berbahaya itu bukan kritik. Yang berbahaya itu ketika rakyat sudah tidak mau berbicara lagi. Di situ letak bahayanya,” pesannya.

Ia juga mengingatkan bahwa demokrasi bukan sekadar mencoblos lalu diam, tetapi mencoblos lalu kawal dan awasi.

“Indonesia terlalu berharga untuk dijalankan dengan coba-coba. Jalankan negeri ini dengan akal sehat, dengan keadilan, dan dengan kerendahan hati,” pungkas Anies mengakhiri pidatonya dengan salam penutup.

Sumber: JakartaSatu

Artikel terkait lainnya