Manuver Budi Arie Masuk Gerindra: Kuda Troya Jokowi Untuk 2029?

Manuver Budi Arie Masuk Gerindra Kuda Troya Jokowi Untuk 2029

Oleh: Gde Siriana Yusuf | Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies 

Ketika kabar bahwa Projo tidak keberatan jika Budi Arie bergabung dengan Partai Gerindra beredar di publik, spekulasi politik pun bergulir cepat.

Langkah itu sulit dianggap sebagai pilihan personal seorang mantan menteri, karena Budi Arie bukan politisi biasa.

Ia adalah simbol loyalitas Jokowi yang dua kali ikut memenangkan Pilpres, pendiri salah satu jaringan relawan terbesar di Indonesia, dan salah satu sosok yang paling lantang menyerukan gagasan “Jokowi tiga periode.”

Kini, setelah kembali menjabat Ketua Umum Projo, langkahnya yang disebut-sebut mendekat ke Gerindra mengandung makna politik yang jauh lebih dalam daripada sekadar mencari rumah baru.

Dalam lanskap politik pasca-Jokowi, setiap gerakan dari lingkar loyalis mantan presiden selalu dibaca sebagai bagian dari strategi besar menuju 2029.

Budi Arie memimpin organisasi yang masih memiliki daya mobilisasi kuat di akar rumput—aset yang tak ternilai bagi siapa pun yang ingin membangun mesin dukungan di masa depan.

Jika benar ia bergabung ke Gerindra, maka dua kepentingan besar saling bertemu: Prabowo mendapatkan legitimasi sebagai penerus Jokowi, dan Jokowi tetap memiliki pengaruh melalui tangan lamanya.

Sebuah simbiosis politik yang cerdik, di mana kesinambungan dan kendali bisa berjalan bersamaan.

Namun, di balik semua itu, ada konteks yang lebih personal. Budi Arie kehilangan kursi menteri di awal masa pemerintahan Prabowo setelah publik menyoroti skandal judi online di bawah kepemimpinannya di Kominfo.

Meski tidak ada bukti hukum yang mengaitkannya langsung, badai tersebut mengguncang reputasi politiknya.

Dalam situasi seperti itu, bergabung dengan partai penguasa bukan hanya soal peluang, tapi juga soal perlindungan.

Di Indonesia, kekuasaan sering kali menjadi tameng terbaik dari badai politik dan media. Bergabung berarti bertahan.

Kedekatan Budi Arie dengan PSI menambah lapisan kompleksitas. Partai yang kini dipimpin Kaesang, putra Jokowi, selama ini dianggap sebagai wadah politik keluarga Jokowi di masa depan.

Jika Budi Arie—sebagai simbol relawan Jokowi—memilih menyeberang ke Gerindra, maka Jokowi tampak sedang memainkan dua papan sekaligus: menjaga pengaruhnya lewat PSI sebagai partai muda progresif, dan menanamkan pengaruhnya di tubuh Gerindra sebagai partai penguasa.

Dalam bahasa politik, ini bukan sekadar diversifikasi, tapi penetrasi ganda—menyebarkan pengaruh ke dua kutub kekuasaan yang berbeda.

Langkah ini mengingatkan kita pada teori klasik dalam studi politik tentang bagaimana kelompok atau figur luar dapat masuk dan beradaptasi dalam struktur kekuasaan baru.

Setidaknya ada tiga pola yang relevan: asimilasi, instrumentalisasi, dan penetrasi.

Dalam pola asimilasi, sebagaimana dijelaskan oleh Gabriel Almond dan G. Bingham Powell (1978), kelompok baru beradaptasi dengan struktur partai tanpa mengubah orientasinya secara signifikan.

Jika ini yang terjadi, maka Budi Arie hanya akan menjadi bagian dari mesin politik Gerindra tanpa ruang strategis—menyatu dalam sistem tanpa menanamkan agenda.

Model kedua, instrumentalisasi, sebagaimana diuraikan Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter (1986), menggambarkan situasi di mana kekuasaan memanfaatkan kelompok pendukung sebagai alat mobilisasi, tanpa memberi akses nyata pada pengambilan keputusan.

Dalam konteks ini, Gerindra mungkin melihat Projo sebagai instrumen elektoral semata, sekadar mesin pengumpul suara menjelang 2029.

Namun model ketiga, penetrasi, seperti dijelaskan oleh Lucian W. Pye dan Samuel P. Huntington dalam teori pembangunan politik tahun 1960-an, adalah skenario yang paling menarik: penyusupan terencana untuk menanamkan pengaruh dari dalam.

Jika Projo masuk ke tubuh Gerindra dengan membawa jaringan dan loyalitas Jokowi, maka secara perlahan partai itu bisa terpengaruh oleh nilai, orientasi, atau bahkan strategi politik Jokowi sendiri.

Ini yang membuat sebagian pengamat menyebut langkah ini sebagai “kuda troya politik”—masuk dengan bendera persahabatan, tapi membawa agenda pengaruh dari dalam.

Apakah Gerindra menyadari risiko itu? Bisa jadi iya. Tapi Prabowo adalah politisi yang pragmatis. Ia mungkin melihat manfaat jangka pendeknya lebih besar: dukungan basis Jokowi, stabilitas politik, dan citra kesinambungan pemerintahan.

Jokowi pun mendapat keuntungan serupa: perlindungan politik bagi orang-orangnya dan saluran untuk tetap memengaruhi arah kebijakan dari luar istana.

Namun, di sisi lain, sangat mungkin ada faksi internal dalam Gerindra yang memang membuka pintu bagi Budi Arie.

Faksi ini melihat masuknya Budi Arie bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang memperkuat koneksi ke jaringan Jokowi—baik di kalangan pengusaha, birokrasi, maupun relawan sipil.

Di lingkar partai yang sedang mencari keseimbangan baru antara loyalitas lama dan adaptasi terhadap struktur kekuasaan yang lebih luas, figur seperti Budi Arie bisa menjadi mediator.

Ia bisa berperan menjembatani komunikasi antara dua kubu yang dulu berhadap-hadapan di pilpres, tapi kini terpaksa bersatu dalam satu kapal kekuasaan.

Meski begitu, kalkulasi ini tidak bebas risiko. Di tubuh Gerindra, militansi dan disiplin kader adalah fondasi partai.

Masuknya figur luar dengan sejarah panjang di kubu Jokowi bisa memicu resistensi internal. Sebagian mungkin menerima Budi Arie sebagai tambahan kekuatan, sebagian lain bisa melihatnya sebagai infiltrasi.

Jika Prabowo tidak mampu mengelola keseimbangan itu, friksi internal bisa menjadi titik rawan di tahun-tahun mendatang.

Di sinilah kuda troya bisa benar-benar berfungsi—bukan karena niat jahat, tapi karena struktur partai besar yang mulai longgar oleh kompromi.

Lebih jauh, manuver ini memperlihatkan bagaimana politik pasca-Jokowi tengah bertransformasi dari loyalitas personal menuju kalkulasi struktural.

Selama satu dekade, relawan menjadi kekuatan moral dan sosial yang menopang Jokowi.

Kini, ketika era itu berakhir, mereka terpecah antara idealisme dan kebutuhan bertahan. Politik relawan berhadapan langsung dengan realitas kekuasaan: siapa yang tak masuk sistem, akan dilupakan.

Maka langkah Budi Arie, betapapun dikritik, sebenarnya adalah refleksi dari dilema yang dihadapi banyak tokoh relawan—antara menjaga kemurnian gerakan atau menyesuaikannya agar tetap relevan di panggung kekuasaan.

Dalam arti itu, Budi Arie bukan sekadar tokoh politik, tapi simbol dari transisi politik Indonesia sendiri.

Ia membawa jejak Jokowi, tapi juga mencerminkan wajah baru politik yang lebih pragmatis, cair, dan penuh transaksi.

Pertanyaannya bukan lagi apakah ia akan diterima oleh Gerindra, tapi sejauh mana ia akan memengaruhi Gerindra dari dalam.

Apakah ia akan larut dalam struktur besar, atau justru pelan-pelan mengubahnya dari dalam dengan semangat lama “politik rakyat” yang dulu menjadi slogan Projo?

Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa batas antara loyalitas dan infiltrasi sering kali kabur. Setiap rezim baru mewarisi sebagian struktur lama, dan setiap orang yang kehilangan kekuasaan berusaha menanam pengaruh dalam kekuasaan berikutnya.

Dalam konteks itu, manuver Budi Arie bisa jadi bukan sekadar upaya pribadi untuk bertahan, tapi bagian dari strategi Jokowi untuk memastikan bahwa warisannya tetap hidup dalam pemerintahan Prabowo—meski tanpa jabatan, tanpa sorotan, dan tanpa klaim langsung.

Apakah ini kuda troya atau aliansi baru, waktu yang akan membuktikan.

Tapi satu hal pasti: di tangan para pemain politik yang terlatih membaca arah angin, setiap langkah bukan kebetulan, melainkan perhitungan.

Dalam politik Indonesia, kesetiaan jarang mati—ia hanya berganti tempat berlabuh. ***

Artikel terkait lainnya