DEMOCRAZY.ID – Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap fakta mengejutkan terkait proyek kereta cepat Whoosh yang sedang menghadapi masalah utang dan kerugian.
Dalam podcast “Terus Terang”, Mahfud menyoroti berbagai kejanggalan kontrak yang disebutnya sebagai “jebakan maut” bagi Indonesia.
Mahfud mengutip analisis pengamat Agustinus Edi Kristianto yang sejak 2021 telah memperingatkan bahwa Whoosh akan menjadi “bom waktu”.
Prediksi ini terbukti setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah tidak akan membayar utang Whoosh dari APBN.
Meskipun saham Indonesia sebesar 60% dan China 40%, posisi strategis dalam manajemen didominasi oleh pihak China.
“Presiden, direktur keuangan, dan direktur tekniknya dikuasai China,” ungkap Mahfud mengutip temuan AEK.
China telah menikmati keuntungan dari pengadaan 5.550 metrik ton besi dari Provinsi Guangxi, sementara Indonesia masih menanggung beban utang dengan kewajiban bunga mencapai lebih dari Rp2 triliun per tahun.
Padahal, pemasukan dari tiket hanya Rp1,5 triliun per tahun.
Dari 39.000 lapangan kerja yang dijanjikan, hanya 24.000 untuk pekerja lokal Indonesia.
Mayoritas manajemen top level adalah ekspatriat China, sementara pekerja Indonesia hanya mengisi posisi buruh.
Yang lebih mengkhawatirkan, kontrak Whoosh dirahasiakan bahkan dari anggota DPR.
Mahfud merujuk studi AidData yang menganalisis 142 perjanjian bank China dengan 24 negara berkembang.
Temuan studi menunjukkan pola serupa yang merugikan negara peminjam:
Mahfud menegaskan kasus Whoosh harus diselesaikan secara politik dan hukum untuk mencegah terulangnya penyalahgunaan kewenangan di masa depan.
“Agar tidak ada penggunaan kewenangan yang bergeser menjadi penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.
Kasus Whoosh menjadi sorotan setelah pernyataan Menkeu yang menolak membayar utang dari APBN, disusul rapat kerja Komisi VI DPR yang mengungkap besarnya kerugian dan beban utang proyek kereta cepat ini.
Sumber: Tribun