DEMOCRAZY.ID – Polemik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh kembali mencuat setelah laporan keuangan terbaru menyingkap beban utang yang kian menekan.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengakui pembayaran bunga utang proyek tersebut telah mencapai Rp2 triliun, sementara pemasukan dari penjualan tiket hanya sekitar Rp5 triliun.
Kondisi ini kian menuai sorotan publik ketika Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan menggunakan dana APBN untuk menutup defisit proyek yang kini menumpuk hingga Rp116 triliun.
Di tengah riuh wacana tanggung jawab finansial, mantan Menko Polhukam Mahfud MD ikut angkat bicara dan menyoroti potensi penyimpangan di balik proyek kerja sama Indonesia-China tersebut.
Ia bahkan mengutip pernyataan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio dan ekonom Anthony Budiawan yang sebelumnya menuding adanya indikasi mark up dalam pengadaan proyek KCIC.
Melalui kanal YouTube pribadinya pada Jumat, 24 Oktober 2025 malam, Mahfud MD membeberkan fakta lain yang ia sebut sebagai “ironi kedaulatan ekonomi.”
Ia menyoroti dominasi tenaga kerja asing dalam proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC), meskipun saham Indonesia di proyek itu mencapai 60 persen.
“Ada beberapa hal yang bisa dinukil dari tulisan AEK ini. Begini, dalam proyek itu saham Indonesia sebesar 60 persen dan China 40 persen,” ujar Mahfud, mengutip tulisan lama mantan Direktur YLBHI, Agustinus Edy Kristianto (AEK).
Namun, kata Mahfud, porsi kepemilikan saham tidak berbanding lurus dengan kendali operasional.
“Pejabat strategisnya didominasi oleh pihak China seperti presiden komisaris, direktur keuangan, dan direktur tekniknya,” ungkap Mahfud.
Ia menambahkan, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan keuntungan yang kini mulai dinikmati pihak China.
“Sekarang ini China sudah mulai mendapat keuntungan, sedangkan Indonesia masih menanggung utang yang bunganya saja sangat besar,” katanya.
Mengutip riset dari thepeoplesmap.net, Mahfud juga menyinggung janji pengadaan 24 ribu pekerja lokal dari total 39 ribu tenaga kerja proyek yang ternyata tidak terealisasi sesuai perjanjian awal.
“Tapi dalam praktiknya, mayoritas manajemen top level adalah ekspatriat China. Sedangkan yang dari Indonesia sebagian besar hanya buruh-buruh kecilnya,” tuturnya.
Pernyataan Mahfud ini berseberangan dengan sikap resmi pemerintah China. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan bahwa proyek Whoosh telah memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi Indonesia.
“Kereta api ini telah melayani lebih dari 11,71 juta penumpang, dengan arus penumpang yang terus meningkat,” ujar Guo kepada media pada 20 Oktober 2025 lalu.
Guo juga menyebut proyek tersebut menciptakan lapangan kerja luas bagi masyarakat setempat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur kereta.
“Manfaat ekonomi serta sosialnya terus dirasakan, menciptakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat setempat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur kereta api,” imbuhnya.
Meski klaim manfaat terus digaungkan, beban utang raksasa Whoosh tak bisa diabaikan. Pemerintah Indonesia kini dikabarkan tengah menyiapkan restrukturisasi utang dengan tenor hingga 40 tahun, sambil menjajaki negosiasi baru ke Beijing dalam waktu dekat.
Langkah ini, menurut sumber internal KCIC, diharapkan dapat menekan tekanan bunga dan menghindari potensi gagal bayar.
Namun, sejumlah ekonom menilai restrukturisasi tanpa transparansi publik hanya akan memperpanjang masalah yang sama.
Sumber: Konteks