Awalnya, ia hanyalah tukang mebel yang menembus istana. Kisahnya dikisahkan berulang—tentang kesederhanaan, kejujuran, dan keberpihakan pada rakyat.
Tetapi waktu, seperti biasa, punya cara untuk menelanjangi mitos. Dan kini, mitos itu runtuh di hadapan publik yang tak lagi mudah dibohongi.
Isu keaslian ijazah Jokowi sempat bergema. Tak pernah dijawab tuntas.
Hanya dibungkus dengan senyum, lalu dibiarkan hilang di antara kabar pembangunan dan pencitraan.
Tapi publik tak pernah lupa. Karena dari situlah, dusta kecil mulai tumbuh. Ia menyuburkan bibit ketidakpercayaan yang hari ini menjelma hutan gelap politik keluarga.
Lalu datang Gibran. Anak sulung yang karier politiknya melesat bukan karena karya, tapi karena nama belakang.
Ketika Mahkamah Konstitusi tiba-tiba melonggarkan syarat usia, semua tahu: hukum telah dibengkokkan untuk darah yang sama.
Sejarah mencatat—bukan keberanian, tapi keberpihakan. Hukum tunduk, rakyat murka, dan demokrasi mencatat satu aib baru.
Kini, giliran ijazah sang anak dipertanyakan. Ironi sempurna dari sebuah dinasti yang dibangun di atas narasi kerja keras dan kejujuran.
Ketika kebenaran dimanipulasi demi kepentingan keluarga, republik pun kehilangan arah moralnya.
Kaesang, anak bungsu, tampil dengan gaya santai dan lidah yang ringan. Tapi dua hari setelah menerima KTA, ia sudah jadi ketua umum partai.
Sebuah rekor politik yang memalukan. PSI, partai yang dulu berteriak tentang antinepotisme, kini menjadi panggung keluarga penguasa. Bukan meritokrasi, tapi monopoli darah.
Dan menantu, Bobby Nasution, melengkapi skenario ini. Dari Wali Kota Medan menuju wacana Gubernur Sumatera Utara, semua langkahnya terkarpet rapi.
Ia tak pernah benar-benar berjuang—ia cukup menjadi bagian dari keluarga yang berkuasa.
Inilah pusaran yang dibangun Jokowi: pusaran dusta, nepotisme, dan manipulasi hukum.
Di dalamnya, anak dan menantu berenang bersama, menikmati gelombang yang diciptakan ayahnya.
Sebuah dinasti yang tumbuh bukan karena cinta rakyat, melainkan karena keberanian mempermainkan sistem.
Dulu Jokowi disebut pemimpin dari rakyat. Kini ia tampak seperti raja kecil yang ingin memastikan takhta tetap berputar di ruang makan keluarga.
Dan dari kursi istana, ia mungkin tersenyum—mengira semua ini strategi.
Padahal sejarah sedang menulis catatan pahit: bahwa ketika kekuasaan diwariskan, kebenaran dikubur hidup-hidup.
Pada akhirnya, Jokowi mungkin akan dikenang bukan karena kerjanya, tapi karena dustanya.
Dan anak-anaknya, bukan sebagai penerus, tapi sebagai pewaris beban moral dari seorang ayah yang lupa pada batas kekuasaan. ***