DEMOCRAZY.ID – Dunia politik kembali gempar. Pengamat kawakan Eep Saefulloh Fatah menyalakan “bom politik” dalam podcast Madilog di kanal Forum TV Keadilan pada Kamis (16/10).
Tanpa tedeng aling-aling, Eep menyebut Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden paling cemas dan paling tidak siap meninggalkan kekuasaan sepanjang sejarah Republik!
“Saya tidak perlu merevisi pandangan saya. Jokowi adalah orang paling cemas di Indonesia bahkan makin terbukti setahun terakhir,” tegas Eep tajam.
Menurut Eep, kecemasan Jokowi bukan tanpa alasan. Sejak menjelang akhir masa jabatan, sang mantan presiden disebut sibuk menjaga pengaruh dan memastikan kekuasaan tak benar-benar lepas dari genggamannya.
Eep menggambarkan fenomena Jokowi pasca kekuasaan sebagai “presiden bayangan” yang masih ingin mengatur arah politik, terutama lewat keluarga dan jaringan loyalisnya.
“Ketika berkuasa, ia memegang otoritas. Begitu otoritas hilang, pengaruhnya diuji. Nah, Jokowi tidak siap kehilangan kendali itu,” katanya.
Dari situ, Eep menyebut muncul strategi mempertahankan “dinasti politik” mulai dari anak, menantu, hingga lingkaran dalam yang tersebar di berbagai jabatan publik.
“Ini bukan sekadar politik keluarga. Ini politik ketakutan kehilangan kuasa!” ujar Eep pedas.
Menurut Eep, Pemilu 2024 adalah pemilu paling brutal sepanjang sejarah Indonesia modern.
“Semuanya tampak: mobilisasi aparat, politisasi bansos, dan intervensi hukum. Itu bukan demokrasi, itu manipulasi,” katanya.
Ia bahkan menuding Jokowi lebih berbahaya dari Soeharto, karena menggunakan sistem demokrasi untuk menindas demokrasi itu sendiri.
“Kalau Soeharto melanggar demokrasi dalam sistem otoriter, Jokowi justru melakukan pelanggaran itu dalam sistem demokratis. Itu jauh lebih brutal,” ujar Eep.
Eep menilai Jokowi bukan orang bodoh politik. Tapi justru karena terlalu tahu, ia kehilangan kesadaran moral.
“Dia tahu masa jabatan hanya dua periode, tapi tak sadar arti pembatasan itu. Ini bukan soal tidak tahu, tapi tidak mau sadar,” jelasnya.
Ia menilai Jokowi gagal menjalani fase mad pandito ratu pemimpin yang setelah berkuasa kembali pada kebijaksanaan.
“Jokowi tidak menyiapkan diri untuk berhenti. Ia masih ingin ikut bermain,” kata Eep sinis.
Tak berhenti di situ, Eep menegaskan istilah baru: Jokowisme sebuah paham kekuasaan tanpa batas yang dibungkus kesederhanaan palsu.
“Kalau saya bikin riset, judulnya begini: ‘Memahami Jokowi dan Jokowisme Untuk Melawan Jokowi dan Jokowisme.’ Karena Jokowisme itu berbahaya,” katanya blak-blakan.
Menurut Eep, Jokowisme menciptakan budaya politik inkonsisten, pragmatis, dan nepotistik.
“Dulu bilang anak-anaknya tak mau masuk politik. Sekarang dua anak dan menantu semua di gelanggang. Itu inkonsistensi level dewa,” tegasnya.
Dalam bagian paling panas, Eep menuding bahwa seluruh manuver politik menjelang Pemilu 2024 hanyalah proyek mempertahankan dinasti Jokowi.
“Perubahan aturan usia capres-cawapres bukan kebetulan. Itu desain,” katanya.
Ia juga menyindir keras PSI yang mengaku menganut ideologi Jokowisme.
“Kalau Jokowisme artinya sayang anak sampai hukum dilanggar, itu bukan ideologi itu penyakit kekuasaan,” ucapnya pedas.
Menutup pembicaraan, Eep mengajak rakyat tidak tunduk pada warisan politik Jokowi.
“Kalau Jokowisme diwariskan, itu harus jadi agenda perlawanan rakyat. Demokrasi bukan alat keluarga, tapi alat bangsa,” tegasnya.
“Jangan biarkan demokrasi disulap jadi teater dinasti. Rakyat harus waras. Pemimpin boleh turun, tapi akal sehat tidak boleh ikut pensiun.”
Sumber: Moneytalk