Banyak BUMN Babak Belur, Jokowi–Erick Layak Dipidana!

Banyak BUMN Babak Belur, Jokowi–Erick Layak Dipidana!

Oleh: Edy Mulyadi | Wartawan Senior

BOLEH dibilang, tak ada rezim yang lebih gemar menumpuk utang BUMN selain duet Jokowi-Erick Thohir. Di tangan keduanya, perusahaan-perusahaan pelat merah yang dulu jadi kebanggaan negeri berubah menjadi pesakitan.

Yang dulu jadi motor pembangunan, kini justru jadi beban negara. Yang dulu berfungsi sebagai sokoguru ekonomi rakyat, kini menggantungkan hidupnya dari dana APBN.

Lihatlah BUMN karya; Waskita Karya, Wijaya Karya, Adhi Karya, Hutama Karya, hingga Brantas Abipraya. Semua nyaris tumbang. Rasio utang mereka menembus langit.

Laporan keuangan terakhir menunjukkan total kewajiban melampaui Rp180 triliun! Padahal, di akhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) total utang mereka di bawah Rp40 triliun.

Bahkan beberapa sudah gagal bayar obligasi. Banyak yang menunggak pembayaran vendor. Laba menguap, kas kering, saham ambruk.

Yang tersisa hanyalah aset yang digadai, proyek mangkrak, dan ribuan pekerja kehilangan harapan.

Plus ‘bonus’ banyak pemilik perusahaan subkontraktor yang tiba-tiba jatuh miskin. Bagaimana tidak? Saat dapat kerjaan dari BUMN, mereka ambil kredit di bank untuk membiayai pekerjaan.

Tapi setelah pekerjaan tuntas, mereka tidak dibayar dengan alasan BUMN kesulitan keuangan. Akibatnya, gaji karyawan mereka terlambat. Bank menyita aset yang diagunkan.

Akar masalahnya Jokowi. Dia memberi penugasan politik kepada BUMN Karya. Demi membangun citra sebagai “raja infrastruktur”, Jokowi memaksa BUMN karya menggarap proyek-proyek raksasa. Jalan tol, bandara, bendungan, pelabuhan.

Nyaris semua tanpa perhitungan keekonomian yang layak. Banyak proyek itu tak feasible secara bisnis, tapi tetap dipaksa jalan dengan dalih “mendorong pertumbuhan”.

Padahal, sebagian besar proyek justru berhenti di tengah jalan. Pasalnya, bermacam proyek tadi tidak menghasilkan arus kas balik yang cukup untuk membayar utang.

Erick Thohir menambah derita itu dengan strategi korporasi yang serba kosmetik. Dia bicara efisiensi, transformasi, hingga holdingisasi.

Tapi faktanya tak sedikit keputusan yang justru makin mengacaukan keuangan BUMN. Restrukturisasi yang digembar-gemborkan hanya memindahkan utang dari satu kantong ke kantong lain.

Right issue, private placement, dan penjualan aset malah membuka peluang bagi masuknya investor besar. Lebih buruk lagi, banyak di antaranya terafiliasi dengan konglomerat yang dekat dengan kekuasaan, di antaranya dan terutama sang kakak, Garibaldi “Boy” Tohir .

*Jokowi-Erick harus dipidana*

Apakah semua kesalahan itu ada di pundak para direksi dan komisaris BUMN? Bahwa mereka bersalah, iya. Tapi, hampir bisa dipastikan mereka hanya menjalankan perintah yang sulit ditolak.

Dua orang di pucuk kekuasaan: Jokowi dan Erick yang harusnya bertangung jawab penuh. Mereka inilah pemberi penugasan mengerjakan proyek yang ngawur dan ugal-ugalan.

Di sinilah pangkal persoalan keadilan dan akuntabilitas negara diuji.

Secara hukum, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jelas menyebut: setiap penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara bisa dipidana.

Jika penugasan proyek infrastruktur dilakukan tanpa dasar kelayakan yang wajar, tanpa analisis risiko yang benar, dan ternyata menimbulkan kerugian ratusan triliun, maka hal itu bisa dikategorikan abuse of authority.

Apalagi bila dalam prosesnya ada pihak-pihak yang diuntungkan, maka potensinya naik menjadi tindak pidana korupsi. Mereka yang dapat durian runtuh itu antara lain para pengusaha yang dekat dengan lingkar kekuasaan.

Artinya, secara prinsipil, Jokowi dan Erick Thohir dapat dan seharusnya dimintai pertanggungjawaban hukum.

Bukan karena mereka membangun infrastruktur, tetapi karena pembangunan itu dilakukan secara tidak transparan, tidak akuntabel.

Perintah mereka telah membangkrutkan banyak BUMN dan patut diduga memperkaya segelintir pihak sambil membebani negara.

Mekanisme hukum bisa dimulai dari audit investigatif BPK. Lalu dilanjutkan dengan penyelidikan aparat penegak hukum bila ditemukan unsur kerugian negara.

Bila DPR berani, hak angket pun bisa digunakan untuk membuka semua data dan kontrak penugasan yang menjerumuskan BUMN karya ke jurang kebangkrutan.

Sayangnya, hingga kini belum tampak keberanian politik untuk menyeret dua nama itu ke tanah hukum.

Padahal, tanggung jawab moral dan hukum tidak berhenti di meja direksi. Ia harus naik ke puncak kekuasaan tempat keputusan dibuat dan beban ditimpakan.

Jika hukum benar-benar hendak ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menutup mata hanya karena pelakunya mantan presiden atau menteri yang dekat dengan presiden.

Jokowi dan Erick boleh berkilah, pembangunan infrastruktur membawa manfaat jangka panjang.

Tapi manfaat apa yang bisa dibanggakan jika fondasinya adalah utang, mark up , dan manipulasi? Apalagi faktanya yang tak menghasilkan nilai ekonomi.

Rakyat dan negara ini tak butuh pencitraan fisik berupa beton dan baja. Rakyat butuh kebijakan yang rasional dan akuntabel.

Sejarah akan mencatat: era Jokowi-Erick adalah masa ketika BUMN karya jadi korban keserakahan ambisi politik.

Dan kelak, ketika tabir kekuasaan bergeser, rakyat berhak menagih pertanggungjawaban.

Sebab uang yang lenyap itu bukan milik korporasi, apalagi milik Erick dan Jokowi. Tapi milik bangsa. Milik kita, rakyat Indonesia! ***

Artikel terkait lainnya