DEMOCRAZY.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai memiliki risiko fiskal yang tinggi.
Pengamat ekonomi Dipo Satria Ramli menilai anggaran yang digelontorkan untuk program ini terlalu besar dan berpotensi membebani keuangan negara.
Ia pun mengusulkan dua solusi alternatif: memfokuskan program hanya untuk daerah 3T serta mengubah skema menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada orang tua murid.
Dipo menilai program MBG terlalu berat bagi APBN karena jumlah anggarannya yang fantastis, bahkan sampai mengambil porsi besar dari anggaran pendidikan.
“Memang masalahnya dia (MBG) terlalu berat, bikin anggaran kita berat, karena jumlahnya lumayan fantastis sekitar 360 triliun, dia mengambil anggaran pendidikan hampir 44%,” ujar Dipo melalui kanal YouTube Refly Harun, Rabu (29/10/2025).
Menurut Dipo, skema tersebut membuat ruang gerak fiskal pemerintah menjadi sangat terbatas. Akibatnya, kebutuhan negara di sektor lain menjadi sulit dijalankan.
“Mau kurangin utang susah, mau bangun infrastruktur susah, karena kita terlalu fokus di MBG ini,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti tidak adanya proyek percontohan (pilot project) yang membuktikan efektivitas program tersebut.
Tanpa uji coba yang matang, Dipo menilai pelaksanaan MBG dalam skala besar justru berpotensi menimbulkan masalah serius, mulai dari pengawasan kualitas makanan hingga serapan anggaran yang tidak maksimal.
“Projek sangat besar itu (MBG) sangat sulit dijalankan karena kita belum ada pilot project yang berjalan dengan baik. Kita langsung dari awal langsung gede (besar), ini menimbulkan banyak masalah, masalah quality control, penyerapannya pun tidak maksimal,” kritik Dipo.
Untuk mengatasi kompleksitas tersebut, Dipo menawarkan dua solusi yang menurutnya lebih efisien dan berdampak langsung bagi masyarakat.
Solusi pertama adalah memperkecil skala program dengan memfokuskan MBG hanya pada daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang paling membutuhkan.
“Daripada MBG untuk nasional, kita kurangin hanya mungkin ke daerah 3T contohnya,” usul Dipo.
Dengan langkah itu, ia menilai anggaran bisa ditekan secara signifikan, dan sisa dana dapat dialokasikan untuk keperluan lain seperti membayar utang negara atau membangun infrastruktur.
“Itu costnya bisa langsung ketekan mungkin 5-10 triliun sudah cukup kita ada penghematan 340 triliun, itu bisa buat macam-macam, bangun infrastruktur, kita bisa kurangi utang, jadi benar-benar bisa nolong budget kita,” lanjutnya.
Solusi kedua, menurut Dipo, adalah mengubah skema penyaluran menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada orang tua murid agar mereka bisa menyediakan makanan bergizi sendiri untuk anak-anaknya.
“Lebih baik didesentralisasi dana diberikan sebagai bantuan langsung ke ibu-ibu, orang tua murid. Jadi bantuan langsung tunai,” kata Dipo.
Ia menilai skema BLT akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) bagi ekonomi rakyat kecil.
Uang yang diterima masyarakat akan berputar di pasar-pasar, membantu nelayan dan petani, sekaligus memperkecil risiko korupsi.
“Jadi orang tua murid dia yang masak, dia yang ke pasar, dia yang ke nelayan, dia yang ke petani. Itu benar-benar efek multiplier-nya jauh lebih tinggi daripada project yang sekarang, karena ekonomi benar-benar berputar di tingkat bawah,” jelas Dipo, sambil mengamini bahwa cara ini juga bisa mencegah munculnya ‘lumbung korupsi’ dalam program.
Dengan demikian, Dipo menyebut program MBG tetap bisa berjalan tanpa menekan anggaran negara.
“Menurut saya win-win sih. Jadi si program MBG bisa tetap jalan, ekonomi bisa jalan, tapi memang cara penyampaian harus dirubah dengan bantuan langsung itu,” tutupnya.
Sumber: Suara