DEMOCRAZY.ID – Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengungkapkan analisis mengejutkan terkait dinamika politik di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam wawancara dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up, Kamis (30/10/2025), Ray tegas menyebut hubungan Prabowo dengan pendahulunya Joko Widodo (Jokowi) sudah retak.
Ray menilai keretakan itu terlihat jelas dari sikap Prabowo yang membiarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (Purbaya) mengkritik keras proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang merupakan ikon Jokowi.
“Pak Prabowo ini hubungannya dengan Pak Joko ini retak-retak. Artinya Pak Prabowo kemungkinan enggak akan menggandeng Gibran lagi,” ujar Ray.
Ia menjelaskan, meski hubungan keduanya sudah retak, namun belum terbelah. “Ibarat gelas ini sudah kelihatan retaknya, tapi belum terbelah,” kata Ray sambil menambahkan, Prabowo tetap membutuhkan basis pendukung Jokowi secara politik.
Ray melihat deklarasi Jokowi yang menyebut komitmen dua periode dengan Prabowo justru menunjukkan kekhawatiran.
“Bagi saya menegaskan bahwa ada sinyal yang kuat bahwa Pak Prabowo akan meninggalkan Gibran 2029,” tegasnya.
Menurutnya, deklarasi Jokowi tersebut seperti “melamar” atau bahkan “mengemis” agar Prabowo tetap mau berpasangan dengan Gibran di 2029.
“Di periode pertama Prabowo yang melamar keluarga Pak Jokowi, di periode kedua terjadi sebaliknya,” kata Ray.
Yang mengejutkan, Ray mengungkapkan KPK telah melakukan penyelidikan terhadap proyek Whoosh sejak awal 2025.
Ia mempertanyakan apakah proses ini dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan Prabowo.
“Model kepempinan KPK yang sekarang ini kan kelihatan lebih banyak membidik orang-orang yang merupakan seterunya pemerintah. Tiba-tiba kok mereka mengakui telah melakukan proses penyelidikan,” ujarnya.
Ray mencatat ada tiga pintu yang memungkinkan dugaan korupsi di proyek Whoosh: pemilihan China alih-alih Jepang meski lebih mahal, pembengkakan anggaran berkali-kali, dan keterlibatan APBN padahal dijanjikan non-APBN.
Ray juga menyoroti peran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dinilai tidak strategis.
“Dari Hatta yang menulis sederetan buku, tiba-tiba datang presiden yang mengatakan saya enggak suka baca buku,” sindir Ray membandingkan para wapres sebelumnya.
Ia mempertanyakan mengapa Gibran lebih banyak menghadiri acara seperti mancing mania di Bekasi ketimbang menangani tugas strategisnya di Papua.
“Sementara kawan ini mancing mania di Bekasi, tidak pergi menyelesaikan masalah (Papua),” kritiknya.
Ray juga mengkritik keras kultur pejabatisme di Indonesia yang menurutnya mencapai puncaknya di era Jokowi.
Ia mendorong konsep “depejabatisme” – memperlakukan pejabat seperti rakyat biasa tanpa privilese khusus.
“Kalau pejabat itu biasa aja kan koruptor enggak nyari-nyari jabatan lagi. Pak Jokowi dikuyo-kuyo karena dulu dihormati karena jabatan itu, sekarang orang mempertanyakannya,” jelasnya.
Ray menyebut politik Indonesia terlalu banyak basa-basi dan eufemisme yang menggelabui rakyat.
Ia memuji figur seperti Purbaya yang bicara apa adanya tanpa berbelit-belit sebagai contoh “politik kosmopolitan” yang natural dan jujur.
Meski ada optimisme dengan dibongkarnya kasus-kasus besar, Ray memperingatkan belum tentu ini murni untuk kepentingan bangsa.
“Jangan-jangan ini hanya sekedar pergulatan soal ‘gua miliki apa, lu miliki apa’,” pungkasnya skeptis.
Sumber: JakartaSatu