DEMOCRAZY.ID – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti memberi sinyal bahaya jika pemerintah tetap ngotot memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden RI, Soeharto.
Sebab, Bivitri menganggap usulan gelar pahlawan bagi Soeharto bisa menjadi ancaman terhadap perjuangan reformasi 1998.
Dalam acara diskusi yang digelar di Gedung YLBHI, Jakarta pada Selasa (4/11/2025), Bivitri mengungkap sederet alasan Soeharto tak layak dianugerahi pahlawan nasional.
Menurutnya, usulan gelar pahlawan kepada Soeharto bisa membuka peluang untuk menghidupkan kembali UUD 1945 naskah awal.
Hal itu, katanya berpotensi menjadi “pathway” atau jalan kembali ke sistem pemerintahan otoriter seperti era Orde Baru.
“Ini semacam alarm sebetulnya, kami menyebutnya semacam pathway untuk kembali kepada UUD yang lama naskah awal yang dibuat pada Juli 1945,” ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu juga menyinggung soal kekuasan Soeharto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Menurutnya, adanya amandemen UUD 1945 juga untuk membatasi masa jabatan kepala negara.
“Kalau teman-teman ingat, hal pertama yang diubah dalam amandemen UUD 1945 adalah pembatasan masa jabatan presiden, dari tak terhingga menjadi dua kali. Itu belajar dari Soeharto,” bebernya.
Tak hanya bermasalah secara moral dan politik, usulan gelar pahlawan bagi Soeharto dianggap tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Bivitri menyebut jika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga tidak lagi punya kewenangan meneluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) baru setelah amandemen UUD 1945 selesai pada 2002 silam.
“Kalau dikatakan legalitasnya sudah legal, itu salah. Karena TAP MPR sejak 2002 tidak boleh lagi keluar. Jadi kalau ada perubahan pada TAP MPR yang mengatur soal pengadilan Soeharto, itu tidak mungkin,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan, tidak ditemukan dokumen resmi dari koalisi sipil soal perubahan TAP MPR yang bisa dijadikan dasar hukum terkait usulan gelar pahlawan kepada Soeharto.
“Yang terjadi itu hanya pidato Pak Bamsoet (Ketua MPR). Tapi kalau dikatakan sudah legal secara hukum, ya keliru,” katanya.
Lebih lanjut, Bivitri pun menganggap usulan pemberiaan gelar pahlawan kepada Soeharto menjadi sinyal berbahaya karena bisa mengancam sistem demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998.
“Sebagai orang yang belajar hukum tata negara, ini mengerikan. Tapi mestinya bukan cuma mengerikan bagi kami, melainkan bagi kita semua,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Sosial mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah.
Selain Marsinah, Presiden Ke-2 RI Soeharto dan Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh lain yang diusulkan, antara lain ulama asal Bangkalan Syaikhona Muhammad Kholil, Rais Aam PBNU K.H. Bisri Syansuri, K.H. Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang, Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan, serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin dari Jakarta (mantan Gubernur Jakarta).
Sumber: Suara