Swasta Diberikan 110 Persen Impor BBM, Pengamat: Bahlil Tak Mengerti Bekerja Membangun Ekonomi!

DEMOCRAZY.ID – Ketika negara memutuskan untuk membuka keran impor bahan bakar minyak (BBM) secara merata antara swasta dan BUMN, sebagaimana disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, maka kita patut bertanya: di mana posisi negara dalam urusan energi yang begitu vital bagi kehidupan rakyat?

Pernyataan Bahlil bahwa “kuota impor sudah diberikan kepada semua badan usaha, baik pemerintah maupun swasta” tampak seperti langkah liberalisasi energi yang dikemas dengan istilah efisiensi pasar.

Namun, di balik jargon efisiensi itu, tersembunyi ancaman besar terhadap kedaulatan energi dan perlindungan rakyat.

Bila negara menyerahkan urusan energi sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka rakyat akan menjadi korban pertama dari fluktuasi harga dunia.

Swasta, pada hakikatnya, berorientasi pada keuntungan. Mereka membeli BBM dengan harga pasar dunia, menambahkan margin laba, lalu menjualnya kepada konsumen.

Tidak ada motif sosial di sana. Bila harga minyak dunia naik, rakyat akan langsung menanggung beban.

Di sinilah absennya peran negara menjadi sangat terasa.

Negara seolah berdiri di pinggir jalan, membiarkan rakyat bertransaksi dengan pasar tanpa perlindungan apa pun.

Padahal, subsidi bukan sekadar beban anggaran negara, melainkan instrumen kebijakan ekonomi yang berfungsi menjaga daya beli rakyat, menstabilkan harga, dan mendorong produktivitas nasional.

Subsidi BBM adalah bentuk nyata kehadiran negara dalam menjamin akses energi yang terjangkau bagi masyarakat.

Lebih dari itu, subsidi memiliki efek ganda—ia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan biaya produksi dan distribusi barang serta memperkuat daya saing industri nasional.

Ketika subsidi dicabut atau peran negara digantikan swasta, maka yang tumbuh bukanlah efisiensi, melainkan ketimpangan.

Masyarakat menanggung harga tinggi, industri menanggung biaya energi besar, dan negara kehilangan kontrol terhadap salah satu sektor strategisnya.

Energi bukan sekadar komoditas, tetapi urat nadi ekonomi dan simbol kedaulatan bangsa.

Menyerahkan sektor ini kepada mekanisme pasar sama artinya dengan menyerahkan kendali kehidupan rakyat kepada korporasi.

Kebijakan yang membuka ruang impor BBM bagi swasta, meski disebut “berkeadilan” oleh pemerintah, sesungguhnya berpotensi menyingkirkan peran negara dari fungsi utamanya: melindungi rakyat.

Negara tidak boleh sekadar menjadi wasit di antara pemain pasar.

Negara harus tetap menjadi pemain utama yang memastikan energi tidak hanya tersedia, tetapi juga terjangkau dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, peran Pertamina bukan sekadar badan usaha, melainkan alat negara untuk menjalankan amanat konstitusi dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Bila Pertamina dikerdilkan, dan swasta diberi ruang setara tanpa batas, maka perlahan tapi pasti, kedaulatan energi Indonesia akan terjual di meja bisnis.

Subsidi BBM bukanlah kemewahan, tetapi kewajiban negara. Ia bukan soal untung rugi fiskal, melainkan soal keadilan sosial.

Bila negara abai terhadap tanggung jawab ini, maka rakyat akan membayar harga mahal—bukan hanya dalam bentuk rupiah, tetapi juga dalam bentuk hilangnya kepercayaan pada negara yang seharusnya melindungi mereka.

Sumber: FusilatNews

Artikel terkait lainnya