DEMOCRAZY.ID – Sosok mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dinilai paling bertanggung jawab dalam kerugian kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
Demikian antara lain disampaikan Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto merespons penyelidikan KPK terhadap dugaan tindak pidana korupsi Whoosh.
“Jokowi dan LBP orang yang bertanggung jawab dan otak di balik kasus Whoosh. Jejak digital media atas perkataannya mudah ditemui,” kata Hari, Rabu, 29 Oktober 2025.
Untuk mempermudah penyelidikan, KPK bisa memanggil pakar dan pejabat terkait sebagai saksi untuk mengumpulkan bukti kuat dugaan rasuah Whoosh.
Di sisi lain, upaya KPK menyelidiki proyek Whoosh menjadi kabar baik lantaran proyek ini berimbas beban negara yang dipaksa menanggung utang mencapai lebih dari Rp118 triliun belum termasuk bunga tetap 3,2 persen per tahun.
“Berita terbaru juga muncul perbandingan proyek kereta cepat Arab Saudi dan Indonesia sangat jauh berbeda. Pembiayaannya saja sangat berbeda, Arab hanya menghabiskan Rp112 triliun (1.500 km) , sedangkan Indonesia Rp113 triliun (142,3 km),” pungkas Hari.
Aroma haus kekuasaan keluarga Joko Widodo sudah terlihat sejak awal sosok yang akrab disapa Jokowi itu menjadi Presiden Indonesia.
Hal tersebut diungkap aktivis sekaligus akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun saat menguliti kebijakan kontroversial mantan Presiden Jokowi, termasuk soal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
“Saya tahu data, informasi yang valid, keluarga ini (Jokowi) menggunakan strategi populisme ‘menutupi’ hal-hal yang terkait praktik KKN. Tanda-tandanya sudah kelihatan dari awal berkuasa,” kata sosok yang akrab disapa Ubed dikutip dari podcast Abraham Samad Speak Up, Rabu, 29 Oktober 2025.
Ubed tercatat sudah beberapa kali melaporkan Jokowi dan keluarganya terkait dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun sayangnya, hingga kini laporan ke KPK tidak membuahkan hasil.
Ubed mencermati, praktik kekuasaan Jokowi selama dua periode menjadi presiden terasa janggal.
“Banyak praktik kekuasaannya memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar, ini harus dihentikan karena haus kekuasaan. Saya sudah mengingatkan kekuasaan ini semakin bahaya, ditambah (ada) represi terhadap para aktivis pada waktu itu,” cerita Ubed.
Menurutnya, Jokowi cukup cerdik menggunakan popularitasnya untuk menyembunyikan hasrat haus kekuasaan.
“Makin kelihatan dia bersembunyi di balik populisme untuk menyembunyikan otoritariannya, menyembunyikan hasrat berkuasanya, menyembunyikan kleptokrasinya,” tandas Ubed.
Sumber: RMOL