PEPS Bongkar Dugaan Mark-up Proyek Kereta Whoosh yang Menangkan China: KPK Tak Perlu Tunggu Laporan!

DEMOCRAZY.ID – Managing Editor PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan mengaku heran jika KPK ‘ngeyel’ menunggu laporan atas dugaan mark-up proyek Kereta Cepat Jakata-Bandung (KCJB) yang kini bernama Kereta Whoosh.

Dugaan kuat adanya dugaan penggelembungan biaya alias mark up dari proyek kebanggaan Jokowi itu, menurut perhitungan Anthony berkisar 20-60 persen.

“Sejak awal, proyek KCJB sepanjang 142,3 kilometer itu, banyak masalah dan sarat dugaan korupsi. Sangat aneh kalau KPK masih mempertanyakannya,” papar Anthony di Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Tegas saja, Anthony yang memang rajin mengkritik proyek KCJB sejak awal, menyebut komisioner KPK, perlu diragukan kompetensinya.

“Kalau kemudian KPK menunggu masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata, ya bagaimana. Mencerminkan komisioner KPK, saat ini, memang tidak kompeten,” imbuhnya.

Selanjutnya, Anthony membeberkan indikasi kuat mark-up dari proyek KCJB yang semula bakal digarap Jepang, tiba-tiba berbelok ke China.

Diduga ada peran kuat Jokowi yang kala itu berkuasa, untuk menggeser Jepang.

Keikutsertaan Jepang dalam proyek kereta cepat, menurut dugaan Anthony, hanya sebatas ‘pendamping’ saja. Untuk memenuhi prasyarat proses tender.

Di mana, proposal Jepang dimanfaatkan demi mengatrol (mark-up) harga proyek kereta cepat buatan China.

Pada tahap awal, China melontarkan penawaran US$5,5 miliar.

Kemudian naik menjadi US$6,02 miliar, mendekati penawaran Jepang sebesar US$6,2 miliar.

“Namun, penawaran Jepang digugurkan karena minta jaminan APBN. Sedangkan China, tidak minta. Skema dengan China adalah business-to-business (b to b),” kata Anthony.

Selanjutnya, ditunjuklah China untuk menggarap proyek KCJB pada 2016, dengan kesepakatan tak ganggu APBN. Sesuai janji Jokowi.

Namun, janji itu hanya bertahan 5 tahun, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana KCJB.

Dalam pasal 4 ayat 2 Perpres 93/2021 mengatur bahwa pendanaan lainnya seperti diatur ayat 1 huruf c, dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan proyek strategis nasional (proyek KCJB) dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal.

Di mana, pembiayaan yang berasal dari APBN dilakukan dengan penyertaan modal negara (PMN) kepada pimpinan konsorsium, dan penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium.

Gayung Jokowi bersambut, Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana KCJB.

“Kini semuanya tebukti bohong besar semua. Proyek KCJB awalnya tidak dibiayai APBN, akhirnya ditanggung APBN juga. Biaya proyek kereta cepat China ini, terus disuntik APBN,” ungkap Anthony.

Anthony pun menyoroti jumbonya bunga utang dari proyek KCJB. Baik Jepang maupun China, memang menawarkan skema utang sebesar 75 persen dari total nilai proyek. Tenornya 50 tahun dengan masa tenggang (grace period) 10 tahun.

Di mana, selama 10 tahun pertama, pemerintah hanya membayar bunga utangnya saja. Hanya saja ada bedanya.

Kalau Jepang, menawarkan bunga 0,1 persen per tahun. Sedangkan China mematok 2 persen per tahun.

“China tawaran bunga utang yang besarnya 20 kali lebih mahal ketimbang Jepang, tapi kepilih. Ini kan aneh, ” ungkapnya.

Dengan nilai proyek US$6 miliar dan pembiayaan utang US$4,5 miliar (75 persen), bunga utang proyek kereta cepat yang ditawarkan Jepang, hanya US$4,5 juta per tahun. Atau sekitar Rp73,35 miliar (kurs Rp16.300/US$).

Untuk bayar bunga utang dari proyek kereta cepat China, pemerintah harus siapkan US$90 juta per tahun. Atau 20 kali lipat lebih tinggi, atau setara Rp1,47 triliun.

Jauh di bawah bunga utang Jepang yang hanya US$45 juta. Jauh di bawah penawaran China yang mencapai US$900 juta.

Kalau beban bunga utang ini, masuk biaya dalam evaluasi finansial proyek, maka penawaran China jelas lebih mahal ketimbang Jepang. Atau US$6,92 miliar (China) melawan US$6,25 miliar.

“Hampir bisa dipastikan ada manipulasi dalam evaluasi pemilihan proyek yang dimenangkan China,” kata Anthony.

Kesengajaan mengabaikan komponen biaya bunga dalam pembiayaan proyek KCJB, lanjutnya, termasuk pelanggaran serius terhadap proses evaluasi proyek publik. Ini termasuk ranah pidana.

“Karena bunga merupakan salah satu komponen biaya yang sangat penting untuk menentukan kelayakan finansial proyek: penentu mati-hidup proyek,” tukasnya.

Anthony kemudian mengulas pembengkakan biaya (cost overrun). Hasilnya, lebih parah lagi.

Akibat biaya proyek yang membengkak US$1,2 miliar, total nilai proyek ikut gemuk US$7,22 miliar, atau setara US$50,5 juta per km.

Jika dibandingkan dengan proyek sejenis di China, nilanya lebih njomplang lagi. Biaya pembangunan kereta cepat di China berada di kisaran US$17-30 juta per kilometer (km).

Sebut saja, kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km dengan kecepatan maksimum 350 km/jam, biaya pembangunannya sekitar US$22,93 juta per km.

Artinya, biaya proyek KCJB lebih mahal sekitar US$19 juta per km ketimbang proyek Shanghai-Hangzhou. Atau kemahalan sekitar US$2,7 miliar secara keseluruhan.

“Patut diduga, nilai proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan, alias markup yang sangat kasar dan sangat serakahnomics,” pungkasnya.

Lebih parah lagi, 75 persen pembiayaan utang dari cost overrun itu, sekitar US$900 juta, dikenakan bunga 3,4 persen per tahun. Atau 34 kali lipat dari bunga utang yang ditawarkan Jepang.

Sehingga, total bunga pinjaman proyek kereta cepat saat ini mencapai AS$120,6 juta, atau sekitar Rp1,97 triliun per tahun (kurs Rp16.300 per dolar AS).

Bayangkan, penawaran bunga pinjaman dari Jepang hanya sekitar Rp75 miliar saja.

“Tidak heran, dengan tingkat bunga pinjaman China yang begitu besar, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), saat ini, megap-megap karena tidak mampu membayar bunga utang proyekKCJB. Dan, masuk kategori default alias gagal bayar bunga,” pungkasnya.

Sumber: Inilah

Artikel terkait lainnya