DEMOCRAZY.ID – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, akhirnya angkat bicara merespons pernyataan mantan Menkopolhukam Mahfud MD terkait dugaan penggelembungan anggaran (mark up) dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh).
Reaksi ini sontak memanaskan kembali perdebatan publik mengenai transparansi dan akuntabilitas proyek infrastruktur yang menelan dana besar.
Menanggapi isu yang berkembang, Setyo menegaskan bahwa hingga saat ini KPK belum menerima laporan resmi terkait dugaan mark up tersebut, baik dari pihak internal maupun eksternal.
“Sampai sekarang sih belum terinformasi ya, artinya dari internal,” ujar Setyo, seperti dilansir dari Tribunnews yang diakses pada (1/11).
Namun, yang menarik, Setyo justru berani menantang Mahfud MD untuk menunjukkan data yang menjadi dasar dari pernyataannya.
Dalam beberapa kesempatan, Mahfud memang mengungkapkan adanya selisih biaya pembangunan per kilometer yang signifikan antara proyek Kereta Cepat Whoosh di Indonesia dan di Cina.
“Tapi kalau Pak Mahfud menyampaikan seperti itu, ya mudah-mudahan ada informasi, ada data dan dokumen yang bisa mendukung kejelasan dari yang disampaikan,” lanjut Setyo.
Mahfud MD sebelumnya mengungkapkan bahwa biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Indonesia mencapai angka fantastis, yakni 52 juta dolar AS per kilometer.
Jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan asumsi kurs saat ini (1 November 2025) adalah Rp16.000 per dolar AS, maka biaya tersebut setara dengan Rp832 miliar per kilometer!
Sementara itu, Mahfud menyebutkan bahwa biaya serupa di Cina hanya berkisar antara 17-18 juta dolar AS per kilometer.
Dalam rupiah, angka ini setara dengan Rp272 miliar hingga Rp288 miliar per kilometer.
Perbedaan yang sangat signifikan ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di benak publik.
Mungkinkah ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan biaya pembangunan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di Cina?
Atau, jangan-jangan ada indikasi praktik mark up yang merugikan keuangan negara? Semua pertanyaan ini tentu membutuhkan jawaban yang transparan dan akuntabel dari pihak-pihak terkait.
Setyo juga menyatakan keyakinannya bahwa Mahfud MD memiliki data-data tersebut, namun menyerahkan sepenuhnya kepada Mahfud apakah ingin menyerahkannya kepada KPK atau tidak.
“Saya yakin beliau mungkin punya, tinggal nanti apakah beliau mau menyerahkan atau apa, tergantung dari beliau,” ucapnya.
Pernyataan ini seolah mengembalikan “bola panas” ke tangan Mahfud MD. Publik kini menanti, apakah Mahfud akan memenuhi tantangan tersebut dan membuka data yang dimilikinya, atau memilih untuk tetap diam.
Terkait kemungkinan KPK akan proaktif menindaklanjuti informasi ini, Setyo menjelaskan bahwa langkah selanjutnya akan diputuskan setelah dilakukan kajian di tingkat kedeputian.
“Ya biar ditelaah dulu di level kedeputiaan apa yang harus dilakukan dengan informasi tersebut,” kata Setyo.
Pernyataan ini menjadi respons resmi pertama KPK setelah Mahfud MD melalui kanal YouTube pribadinya menyinggung dugaan mark up tersebut.
Kasus dugaan mark up proyek Kereta Cepat Whoosh ini menjadi ujian penting bagi KPK dan pemerintah dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas proyek-proyek infrastruktur.
Publik berharap, semua pihak terkait dapat bekerja sama untuk mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara efisien dan efektif.
Jika dugaan mark up ini terbukti benar, tentu akan menjadi preseden buruk bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Sebaliknya, jika tidak terbukti, hal ini akan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan KPK.
Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Mahfud MD akan memenuhi tantangan Setyo Budiyanto dan membuka data yang dimilikinya?
Dan, jika benar ada indikasi mark up, langkah konkret apa yang akan diambil oleh KPK? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Yang jelas, kasus ini akan terus menjadi sorotan publik hingga ada kejelasan yang pasti.
Sumber: Tribun