DEMOCRAZY.ID – Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius membongkar dugaan pengelembungan alias mark-up dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Kereta Whoosh, setidakya 4 mantan menteri hingga mantan Presiden, Joko Widodo (Jokowi) harus diperiksa.
Yakni, Rini Soemarno selaku mantan Menteri BUMN, Luhut Binsar Pandjaitan selaku mantan Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Budi Karya Sumadi selaku mantan Menteri Perhubungan, dan Sri Mulyani selaku mantan Menteri Keuangan.
“Seharusnya begitu (diperiksa KK), karena semua aktor itu terlibat langsung dan tidak langsung dengan pemilihan kontraktor dan pembiayaan Kereta Whoosh,” kata Ketua DPP NCW (National Corruption Watch), Hanifa Sutrisna di Jakarta, dikutip Kamis (30/10/2025).
Selanjutnya, Hanifa menyoroti Sri Mulyani merupakan tokoh kunci dari sengkarut proyek KCJB yang digarap China dengan nilai investasi mencapai US$7,27 miliar, atau setara Rp120.6 triliun.
“Sebagai mantan Menkeu, Sri Mulyani harus diperiksa karena ada upaya pemindahan dari investasi menjadi beban APBN. Hal itu, pasti menkeu mengetahui atau mendapat arahan untuk melakukan kajian terkait rencana pengalihan pola pembiayaan Kereta Whoosh ini,” ungkapnya.
“Apalagi pernyataan LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) menyebutkan bahwa sejak awal pembangunan Kereta Whoosh, sudah bermasalah sejak awal. Jadi, kenapa diteruskan jika sudah bermasalah dari awal. Ini yang harus dikejar,” imbuhnya.
Terkait penolakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menggunakan APBN untuk membayar utang Kereta Whoosh, menurut Hanifa, tentu ada maksudnya.
Bisa jadi, Menkeu Purbaya melihat ada yang tidak benar di proyek tersebut.
“Saya sangat yakin, Menkeu Purbaya mengetahui kondisi (proyek Kereta Whoosh) yang sebenarnya. Makanya dia menolak pakai APBN. Dan, secara halus meminta Danantara yang menyelesaikan utang Kereta Whoosh. Karena memang banyak masalah,” kata Hanifa.
Agar masalah ini menjadi terang benderang, Hanifa mengusulkan dilakukannya audit khusus terkait proyek KCJB yang diduga kuat mengandung praktik mark-up.
“Harus dilakukan audit khusus untuk menilai harga pembangunan per kilometer, dan proses pembelian kereta cepatnya. Karena ada dugaan ketidakwajaran investasi jika dikomparasi dengan investasi yang sama di negara lain,” imbuhnya.
Sumber: Inilah