DEMOCRAZY.ID – Polemik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) kembali memanas setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka menolak penggunaan dana APBN untuk menutup kerugian dan utang proyek tersebut.
Dalam podcast Anak Bangsa bersama Rudi Eskamri, pernyataan Purbaya disambut dukungan keras dari Marsekal TNI (Purn) H. Agus Supriatna, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) periode 2015–2017. Agus mengungkap, sejak awal ia menolak penggunaan aset negara untuk proyek yang seharusnya bersifat business to business itu.
“Dulu kenapa saya tolak? Karena ini proyek bisnis, kok pakai tanah negara di Halim,” ujar Agus, mengingat masa-masa awal negosiasi pembangunan KCIC.
Ia menyebut, Stasiun Halim berdiri di atas tanah kesatrian TNI AU yang strategis untuk pertahanan ibu kota.
“Pesawat-pesawat tempur kita stanby di Halim. Masa mau diswastakan untuk stasiun?” tegasnya.
Agus juga menceritakan pengalaman ketika sejumlah pekerja asing asal Tiongkok masuk ke Halim tanpa izin resmi.
Ia mengaku saat itu langsung memerintahkan penyitaan alat dan penahanan sementara.
“Saya bingung, yang telepon saya malah Luhut Binsar Panjaitan, bukan Menteri Perhubungan atau BUMN,” katanya.
Dalam diskusi, Prof. Henri Subiakto, pakar komunikasi politik Universitas Airlangga, menilai keputusan Purbaya menolak APBN merupakan langkah berani yang selama ini ditunggu publik.
“Keberanian seperti ini yang dibutuhkan. Kalau proyek ini murni bisnis, maka para pemegang konsesi harus bertanggung jawab, bukan negara,” ujarnya.
Data terbaru menunjukkan, utang proyek KCIC mencapai Rp116 triliun dengan bunga Rp2 triliun per tahun.
Sejak beroperasi 2023, kereta cepat mencatat kerugian total Rp6,2 triliun hingga September 2025.
Tingkat okupansi hanya berkisar 20–40%, jauh dari target awal.
Agus juga menyoroti keputusan penempatan stasiun di Halim yang dinilainya tidak logis.
“Kalau memang untuk kepentingan rakyat, ya bangun saja di Bekasi Timur, biar langsung terkoneksi KRL atau ke Manggarai,” katanya.
Henri menambahkan, proyek KCIC hanyalah satu dari sekian banyak “bom waktu” peninggalan pemerintahan sebelumnya.
Ia menyebut perencanaan yang ambisius tanpa perhitungan matang menyebabkan proyek strategis nasional menjadi beban panjang bagi negara.
“Ekonom almarhum Faisal Basri pernah hitung, modal KCIC baru balik 139 tahun. Ini bom waktu lintas rezim,” ujarnya.
Selain KCIC, Agus menyinggung proyek-proyek bandara yang mangkrak seperti Kertajati dan Kulon Progo.
Menurutnya, banyak bandara dibangun tanpa memperhitungkan keberlanjutan operasional, hanya demi proyek.
“Setiap tahun negara harus bayar maintenance bandara yang tak beroperasi,” ujarnya.
Podcast juga menyinggung reformasi kepolisian dan kondisi demokrasi di era awal pemerintahan Prabowo.
Agus dan Henri sepakat, Prabowo mewarisi banyak masalah struktural—dari utang membengkak hingga ketidakpastian hukum—yang dapat menjadi jebakan politik jika tidak dihadapi dengan kehati-hatian.
“Presiden harus waspada terhadap jebakan dari luar maupun dalam. Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi mengingatkan agar pemerintah tetap berpihak pada rakyat,” kata Rudi Eskamri menutup diskusi.
Sumber: Herald