DEMOCRAZY.ID – Isu Ketua Umum Projo Budi Arie masuk Partai Gerindra menuai spekulasi. Dianggap sebagai alat negosiasi Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo Subianto.
Pengamat Politik Nurmal Idrus menyebut anggapan tersebut memang tak bisa ditampik begitu saja. Mengingat Budi Arie sebagai loyalis Jokowi.
“Pandangan yang menyebut Budi Arie sebagai “alat negosiasi” memang tak bisa dikesampingkan. Ini karena kita ketahui bahwa Budi Arie ini adalah Loyalis Inti Jokowi,” kata Nurmal kepada fajar.co.id, Rabu (9/11/2025).
Peran Budi Arie dalam karir politik Jokowi, menurutnya sangat sentral. Membantu Jokowi memenangkan dua Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Budi Arie adalah tokoh sentral dan pendiri Projo, organisasi relawan utama yang memiliki peran besar dalam memenangkan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019,” terangnya.
Bahkan, kata Nurmal, jika Projo mendukung Prabowo-Gibra. Sementara Budi Arie gabung Gerindra, representasi Jokowi dari Budi Arie tak bisa dihilangkan begitu saja.
“Meskipun Projo kini mendukung Prabowo-Gibran, Budi Arie secara historis adalah representasi dari kekuatan relawan dan loyalis murni Jokowi,” paparnya.
Baginya, langkah Budi Arie dengan memberi sinyal bergabung Gerindra terukur.
“Terkoordinasi dan merupakan sinyal persetujuan dari Presiden Jokowi untuk memperkuat barisan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran,” ucapnya.
Meski begitu, soal apakah hal tersebut digunakan Jokowi untuk meredam isu yang menimpa dirinya. Seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung alias Whoosh, Nurmal menilai terlalu jauh.
“Sebenarnya kalau menarik ke sana, tidak sinkron isunya,” imbuhnya,
Baginya, Whoosh tak terkait dengan langkah Budi Arie.
“Isu Woosh adalah masalah lain yang lebih banyak terkait hukum sementara isu Projo adalah murni politik,” pungkasnya.
Ambisi Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi untuk segera bergabung dengan Partai Gerindra menjadi sorotan tajam usai Kongres III Projo pada Sabtu (1/11/2025) dan Minggu (2/11/2025).
Mantan Menteri Koperasi dan UKM ini secara gamblang menyatakan keinginannya untuk beralih ke partai pimpinan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Dia akan meninggalkan jejaknya di PSI (berdasarkan konteks akhir analisis Rocky Gerung).
Manuver politik Ketua Umum relawan pendukung Joko Widodo atau Jokowi ini langsung direspons oleh Pengamat Politik Rocky Gerung.
Rocky Gerung melihatnya sebagai indikasi adanya “transaksi politik besar-besaran” di balik layar kekuasaan.
Rocky Gerung, melalui kanal YouTube-nya pada Senin (3/11/2025), menduga kuat bahwa langkah Projo yang akan “diwariskan” atau “dihibahkan” ke Gerindra telah mendapatkan restu dari Presiden Jokowi.
“Karena bayangkan Projo pada akhirnya harus pindah ke Gerindra dan ya mungkin itu strategi yang jitu oleh ketua Projonya saudara Budi untuk memungkinkan ada tukar tambah baru dalam politik,” kata Rocky Gerung.
Ketidakhadiran Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi dalam Kongres Projo juga menjadi catatan penting bagi Rocky.
Menurutnya, absennya kedua tokoh ini adalah sinyal kehati-hatian Jokowi dalam “mendiplomasikan Projo ke Gerindra.”
Lebih jauh, Rocky Gerung menilai perpindahan haluan Projo ini sebagai bentuk sogokan politik dari lingkaran kekuasaan Jokowi kepada Partai Gerindra.
Tujuannya, disebut Rocky, adalah untuk menghentikan opini publik dan analisis yang mendesak pemeriksaan terhadap berbagai kasus yang melibatkan dinasti Jokowi.
Kasus-kasus yang disinggung meliputi:
– Kasus kereta cepat Whoosh.
– Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara, yang menyeret nama Gubernur Sumut sekaligus menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang disebut Rocky siap diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Rocky Gerung, “menghibahkan Projo ke Gerindra” adalah upaya untuk meredam gelombang kritik tersebut.
Ia bahkan memprediksi akan terjadi “gempa bumi politik baru” atau “radical break” dalam waktu dekat, di mana dugaan tukar tambah antarelite ini akan terkuak.
“Mungkin dalam satu minggu ini ya akan ada berita baru tuh tentang kasus-kasus yang menyangkut dinasti Pak Jokowi itu,” ujar Rocky.
Ia menambahkan, konstruksi kasus yang menyangkut dinasti Jokowi, mulai dari kasus Fufufafa (istilah Rocky untuk kasus tertentu), ijazah Jokowi, dugaan ijazah palsu Gibran Rakabuming Raka, hingga kasus Whoosh kini semakin lengkap.
Hal ini memicu pertanyaan tentang apakah transaksi politik antara kepentingan kekuasaan Jokowi di masa lalu dengan kepentingan Presiden Prabowo Subianto hari ini akan menghasilkan dinamika politik baru yang signifikan.
Sumber: Fajar