DEMOCRAZY.ID – Pagi masih berawan di Manokwari, Papua Barat.
Namun, suasana Pasar Wosi sudah riuh oleh suara pedagang yang sibuk menata dagangan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, sosok Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba muncul, berjalan santai menyapa warga satu per satu.
Tanpa rombongan besar dan protokol berlebihan, Gibran mengenakan kemeja hijau dan sneakers.
Ia menyalami pedagang sayur, menanyakan harga ikan, dan sempat bercanda dengan penjual buah.
Aksi blusukan pagi-pagi ini sontak menarik perhatian warga sekitar.
Kunjungan Gibran ke Pasar Wosi, Rabu 5 November 2025 bukan sekadar agenda kerja.
Bagi sebagian masyarakat, langkah itu punya makna simbolis.
Pemimpin muda yang mau turun langsung mendengar keluh rakyat kecil.
Namun, di balik sanjungan itu, muncul juga suara kritis.
Blusukan telah lama menjadi gaya komunikasi politik yang efektif di Indonesia.
Mulai dari era Jokowi hingga kini Gibran, “turun ke pasar”.
Selalu jadi simbol kedekatan pemimpin dengan rakyat.
Tapi publik kini lebih kritis, mereka menunggu hasil, bukan hanya gambar.
Langkah blusukan ini merupakan strategi politik yang cerdas sekaligus ujian bagi efektivitas kepemimpinannya.
bahwa meski gaya turun langsung ke lapangan masih relevan dalam membangun kedekatan dengan rakyat, publik kini menuntut hasil nyata, bukan sekadar simbol kedekatan.
Kunjungan ke pasar rakyat, seharusnya diikuti dengan kebijakan konkret yang dirasakan langsung oleh pedagang dan masyarakat kecil.
Bentuknya bisa berupa perbaikan infrastruktur pasar, kemudahan akses permodalan, hingga pengendalian harga bahan pokok.
Tanpa tindak lanjut seperti itu, blusukan berisiko dianggap hanya sebagai ajang pencitraan.
Yang cepat hilang dari ingatan publik, bukan wujud kepedulian yang berkelanjutan.
Kehadiran Gibran di Papua Barat juga punya makna politik yang lebih luas.
Selama ini, kawasan timur Indonesia sering disebut kurang mendapat perhatian dibanding wilayah barat.
Dengan datang langsung ke pasar tradisional di Manokwari.
Gibran seolah ingin menunjukkan bahwa pemerintah pusat peduli pada ekonomi rakyat di ujung timur negeri.
Gibran sempat meninjau kondisi pasar dan mendengar keluhan pedagang soal harga bahan pokok yang naik serta minimnya fasilitas.
Ia berjanji akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memperbaiki beberapa hal yang disampaikan warga.
Para pedagang yang dikunjungi berharap kunjungan ini tidak berhenti di simbol.
Sebagai wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia.
Gibran membawa ekspektasi besar. Publik melihat dirinya bukan hanya sebagai representasi generasi baru.
Tapi juga tolok ukur kepemimpinan yang cepat, responsif, dan nyata bekerja di lapangan.
Blusukan ke Pasar Wosi bisa menjadi langkah awal untuk membangun citra pemimpin yang tidak berjarak.
Tapi ujian sesungguhnya terletak pada apa yang berubah setelah kamera berhenti merekam.
Jika kunjungan ini benar-benar diikuti dengan kebijakan nyata untuk memperbaiki ekonomi rakyat kecil.
Maka simbol kepedulian itu akan menjelma jadi kepercayaan publik yang kuat.
Namun jika tidak, blusukan akan kembali dianggap sekadar panggung politik yang manis di permukaan.
Sumber: PojokSatu