Alasan Jokowi yang Tak Masuk Akal: Watak Pendusta yang Tak Pernah Berhenti!

WATAK PEMBOHONG JOKOWI

Oleh: Ali Syarief | Akademisi

Presiden Joko Widodo kembali menampilkan watak lamanya: memutarbalikkan logika publik dengan alasan yang sulit diterima akal sehat.

Kali ini, ia berbicara soal proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang sejak awal menjadi simbol megaproyek penuh kontroversi.

Dengan wajah tenang, Jokowi menyatakan bahwa kereta cepat itu tidak dibangun untuk mencari laba, melainkan untuk mengurangi emisi karbon.

Ucapan itu terdengar indah, tapi juga absurd. Sejak kapan proyek infrastruktur raksasa yang menelan lebih dari Rp 120 triliun dari uang rakyat, sebagian besar dari utang, dianggap wajar bila tak bertujuan menghasilkan keuntungan?

Jika motifnya semata-mata demi lingkungan, kenapa pemerintah tidak mengoptimalkan transportasi massal eksisting seperti KRL, bus listrik, atau jaringan kereta antar kota yang lebih murah dan merata manfaatnya?

Klaim Jokowi soal pengurangan emisi karbon tak lebih dari polesan retorik untuk menutupi kegagalan ekonomi proyek ini.

Padahal, data awal menunjukkan mayoritas pengguna KCJB hanyalah kalangan menengah ke atas—mereka yang sebelumnya menggunakan mobil pribadi, bukan angkutan umum.

Artinya, pengurangan emisi yang dijanjikan hanyalah ilusi yang dibungkus jargon “hijau”.

Kita tahu, Jokowi pandai mengganti topik ketika kritik menguat. Saat publik menyorot pembengkakan biaya proyek, ia menekankan manfaat lingkungan.

Ketika publik bertanya soal utang dan beban APBN, ia bicara tentang kebanggaan bangsa.

Pola itu berulang, seperti reflek alami seorang politisi yang terbiasa mengelak daripada menjawab.

Watak pendusta memang sukar berubah. Sejak masa kampanye, Jokowi terbiasa menyusun narasi indah untuk menutupi ketimpangan realitas: janji kemandirian ekonomi berubah menjadi ketergantungan pada utang luar negeri; janji pemberantasan korupsi berganti dengan kompromi politik; janji kesejahteraan rakyat bergeser menjadi proyek-proyek mercusuar yang lebih menguntungkan oligarki.

Kini, alasan “pengurangan emisi karbon” hanyalah bab baru dari serial kebohongan politik Jokowi.

Ia tahu rakyat semakin cerdas, tapi juga tahu sebagian akan tetap percaya selama narasi “pembangunan” terus didengungkan.

Padahal, yang sedang berlangsung bukanlah pembangunan, melainkan pemolesan kegagalan dengan kata-kata manis.

Jokowi mungkin mengira ia bisa terus menipu rakyat dengan retorika hijau dan wajah sederhana. Namun, publik tak bisa terus dibodohi.

Logika publik masih bekerja, dan akal sehat tahu persis: kereta cepat bukanlah simbol kemajuan, melainkan cermin dari keserakahan yang dibungkus kebohongan.

Watak pendusta, pada akhirnya, akan menua bersama kebohongannya sendiri. ***

Artikel terkait lainnya