Stigma Ijazah Palsu Jokowi: Tak Akan Kunjung Sirna Walau Menghadiri Reuni Alumni UGM!

Stigma Ijazah Palsu Jokowi

Oleh: Ali Syarief | Akademisi

Enam tahun pasca meninggalkan Istana, Joko Widodo kembali melangkahkan kakinya ke kampus almamater—Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Jumat pagi, 17 Oktober 2025, ia datang mengenakan batik coklat gelap, celana hitam, dan senyum yang sama: tenang, nyaris tak tersentuh oleh badai opini publik yang terus mengiringinya.

Auditorium Fakultas Kehutanan UGM dipenuhi tepuk tangan dan sambutan hangat. Rektor Prof. Ova Emilia bahkan menyapanya dengan penuh kebanggaan: “Yang terhormat Presiden ke-7 Republik Indonesia Bapak Joko Widodo, alumnus Fakultas Kehutanan tahun 1980 kebanggaan Fakultas Kehutanan UGM.”

Namun, di luar dinding megah auditorium itu, gema sambutan tak selalu sama hangatnya.

Di ruang publik, terutama di jagat digital yang tak mengenal batas, stigma lama tetap hidup dan bernafas: tudingan bahwa ijazah Jokowi palsu.

Isu ini, bagi sebagian orang, sudah menjadi semacam legenda politik. Ia berakar dalam, tumbuh di antara ketidakpercayaan publik dan ketertutupan birokrasi pendidikan.

Selama bertahun-tahun, para aktivis, peneliti independen, dan bahkan sebagian tokoh publik mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi.

Tak sedikit dari mereka yang mengaku memiliki bukti, bahkan berani bersumpah bahwa ijazah yang beredar di media sosial adalah palsu—99,9 persen, kata mereka.

Di sisi lain, negara—melalui institusi hukum dan akademik—telah berulang kali mencoba membungkam isu ini.

Laporan polisi dibuat terhadap para penuduh. Reuni-reuni alumni digelar, lengkap dengan dokumentasi Jokowi bersama kawan-kawan seangkatan.

Namun ironisnya, langkah-langkah itu justru tidak berhasil meredam kecurigaan publik.

Ia malah menambah lapisan baru dalam narasi ketidakjelasan—semacam paradoks dalam komunikasi publik: semakin dibela, semakin diragukan.

Bungaran Saragih, salah satu tokoh yang pernah menyinggung soal polemik ini dalam konteks akademik, bahkan sempat berkata, “Jangan bikin pusing Presiden!” Sebuah kalimat ringan, tapi penuh makna.

Sebab, memang tak ada yang lebih melelahkan bagi seorang mantan presiden selain menghadapi tudingan yang tak kunjung tuntas.

Tapi, di sisi lain, publik juga punya hak untuk tidak sekadar percaya begitu saja pada simbol-simbol legitimasi tanpa bukti nyata.

Faktanya, hingga hari ini, belum pernah ada momen di mana Jokowi benar-benar memperlihatkan ijazah aslinya ke hadapan publik.

Tidak dalam bentuk dokumen resmi, tidak pula dalam bentuk pernyataan terbuka yang disertai pembuktian fisik.

Padahal, di era keterbukaan informasi seperti sekarang, bukti autentik jauh lebih kuat daripada seribu testimoni.

UGM memang telah menegaskan bahwa Jokowi adalah alumnus mereka.

Tapi masyarakat Indonesia, dengan segala pengalaman pahitnya terhadap manipulasi kekuasaan, sulit untuk sekadar percaya pada pernyataan institusional.

Publik tahu betul: di negeri ini, status bisa dikukuhkan oleh tanda tangan, bukan selalu oleh kebenaran.

Oleh karena itu, stigma itu bertahan. Ia tidak lagi sekadar gosip politik, melainkan simbol dari ketidakpercayaan rakyat terhadap elite.

Ia mencerminkan keretakan relasi antara warga negara dan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga integritas publik.

Ketika Jokowi berdiri di podium UGM pagi itu, mungkin ia berharap suasana akademik bisa menjadi ruang pemulihan citra.

Namun sejarah selalu punya cara untuk mencatat hal-hal yang tak ingin diingat.

Di antara tepuk tangan dan ucapan “alumnus kebanggaan,” ada bisikan yang tetap bergaung di kepala banyak orang: “Kalau memang asli, mengapa tidak ditunjukkan?”

Stigma, seperti bayangan, hanya bisa hilang ketika ada cahaya yang cukup terang.

Dan bagi sebagian besar rakyat Indonesia, cahaya itu bukanlah pidato, bukan pula laporan polisi—melainkan kejujuran yang sederhana: keberanian memperlihatkan ijazah asli di hadapan publik.

Sampai hari itu tiba, ke mana pun Jokowi melangkah, isu itu akan tetap mengikutinya—sebagai jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu, tepuk tangan, atau gelar kehormatan apa pun. ***

Artikel terkait lainnya