DEMOCRAZY.ID – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menduga adanya pemufakatan jahat dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Menurutnya, proses pemilihan antara penawaran Jepang dan China sarat kejanggalan karena terdapat perbedaan mencolok dalam nilai proyek dan bunga pinjaman.
Anthony mengungkap bahwa Jepang awalnya menawar sebesar 6,2 miliar dolar AS, sementara China hanya 5,5 miliar dolar AS.
Namun, nilai proyek China kemudian membengkak menjadi 6,07 miliar dolar AS, dengan selisih sekitar 570 juta dolar AS.
Pembengkakan itu belum termasuk cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS, sehingga totalnya meningkat menjadi 7,27 miliar dolar AS.
Dalam siaran podcast “Obrolan Waras” di kanal YouTube Bambang Widjojanto pada 30 Oktober 2025, Anthony menjelaskan perbedaan signifikan dalam bunga pinjaman kedua negara.
“Jepang menawarkan bunga 0,1 persen bunga pinjaman karena Indonesia nih nggak ada duit, jadi 75 persen harus pinjam dari nilai proyek,”
ujar Anthony.
“Nah, China menawarkan yang 6,07 miliar dolar Amerika itu yang 75 persennya adalah pinjaman, suku bunganya 2 persen per tahun, 20 kali lipat,” ujarnya lagi.
Dari hitungannya, 75 persen dari total proyek—termasuk cost overrun—berarti sekitar 900 juta dolar AS dengan bunga 3,4 persen per tahun.
Ia memperkirakan, dengan jangka waktu konsesi yang mencakup masa tenggang (grace period) 10 tahun dan cicilan pokok 40 tahun, proyek ini terlalu mahal hingga 4,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp75 triliun.
Anthony menilai, keputusan pemerintah yang tetap memilih penawaran lebih mahal menunjukkan adanya dugaan kuat kesepakatan yang melanggar aturan.
“Kenapa kemahalan ini tetap dipilih? Ini yang saya katakan bahwa ada satu pemufakatan jahat di mana yang lebih mahal tetap dipilih dan ini merugikan negara totalnya Rp75 triliun,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa nilai proyek tersebut belum memperhitungkan dugaan mark up anggaran.
“Tadi 5,5 miliar dolar Amerika itu sudah sangat mahal yang menjadi 6,07 miliar dolar Amerika. Kalau kita komparasi dengan proyek-proyek sejenis, paling mahal itu sekitar 4 miliar dolar Amerika,” katanya.
“Jadi, ada dugaan mark up di sini paling sedikit 2 miliar dolar Amerika,” lanjutnya.
Lebih jauh, Anthony menuduh bahwa tim proyek Whoosh memanipulasi proses evaluasi pengadaan, dengan tidak memasukkan sejumlah komponen biaya seperti suku bunga pinjaman ke dalam perhitungan resmi.
Sementara itu, Bambang Widjojanto menyoroti beban utang jangka panjang yang ditanggung Indonesia akibat proyek tersebut.
“Sebenarnya seluruh proses ini membebani keuangan negara, bukan hanya jumlah tapi periode yang melampaui beberapa kepala pemerintahan Indonesia ke depan,” ujar Bambang.
Adapun proyek Whoosh kini disebut membuat negara terlilit utang hingga Rp116 triliun, dan pemerintah tengah bernegosiasi untuk memperpanjang masa pelunasan dari 40 tahun menjadi 60 tahun.
Sumber: Konteks