‘Jokowi Gundah Dihantui Amarah Rakyat’

‘Jokowi Gundah Dihantui Amarah Rakyat’

Pada akhirnya, setiap kekuasaan mencari cara untuk bertahan. Sebagian memilih abadi lewat karya, sebagian lain lewat darah.

Jokowi, dalam satu dekade pemerintahannya, tampaknya memilih cara yang kedua: menanamkan kekuasaannya di tubuh anak-anaknya sendiri.

Mungkin bukan karena ia tergila-gila pada kekuasaan.

Mungkin juga bukan karena uang—sebab harta sudah lebih dari cukup untuk tujuh turunan.

Tapi karena satu hal yang lebih sunyi, lebih menakutkan: rasa bersalah.

Dalam perjalanan panjang sepuluh tahun itu, terlalu banyak yang disembunyikan di bawah karpet kuasa: manipulasi politik, pembengkokan hukum, pengkhianatan pada konstitusi, dan yang paling getir—pembelahan rakyat atas nama pembangunan.

Kekuasaan yang dibangun dari citra kesederhanaan ternyata menjelma dalam bentuk paling purba dari kekuasaan itu sendiri: ketakutan pada kehilangan kendali.

Jokowi tampaknya ingin hidup tenang seperti para pendahulunya—menikmati masa tua, mengelus cucu, menatap sawah yang hijau.

Tapi barangkali ia tahu, sejarah tak akan memperlakukan dia seperti itu. Sebab sejarah memiliki memori yang lebih panjang daripada masa jabatan.

Maka jalan satu-satunya adalah memastikan bahwa kekuasaan tetap di tangan keluarga; bahwa istana tak pernah betul-betul berpindah, hanya berganti nama belakang.

Namun hukum rakyat tak bekerja seperti hukum istana.

Ia bukan silsilah, melainkan amarah. Tak ada kekuasaan yang benar-benar tangguh bila berdiri di atas ketakutan.

Dari Nepal, Sri Lanka, Iran—sejarah selalu berulang dengan cara yang sama: kekuasaan yang lahir dari rakyat, tapi menindas rakyat, akhirnya ditumbangkan oleh rakyat juga.

Jokowi mungkin percaya ia sedang membangun dinasti yang menjamin stabilitas.

Tapi sesungguhnya ia sedang membangun reruntuhan yang perlahan akan menelan nama baiknya sendiri.

Sebab kekuasaan yang diwariskan bukan lagi kekuasaan, melainkan utang moral.

Dan utang, seperti sejarah, tak pernah bisa dihapus dengan kursi atau jabatan. Ia menunggu dibayar—kadang oleh waktu, kadang oleh murka. ***

Artikel terkait lainnya