DEMOCRAZY.ID – Trio Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tiffauzia Tiyassuma atau dr Tifa (RRT) berencana menerbitkan buku berjudul Gibran’s Black Paper.
Sebelumnya, mereka telah meluncurkan Jokowi’s White Paper yang mendalilkan 99,99 persen ijazah mantan Presiden Joko Widodo palsu.
Buku mengenai Wapres Gibran kabarnya bakal menelanjangi jenjang pendidikan anak sulung Jokowi yang telah digunakan untuk mendaftar baik saat hendak menjadi Wal Kota Solo ataupun ketika menjadi tandem Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 lalu.
RRT menyebutkan bahwa Gibran tidak memiliki ijazah SMA dari luar negeri sehingga lembar penyetaraan pendidikan sekolah menengah dari Kemendiksasmen tidak sah.
Menurut Rismon, kakak dari Ketua Umum PSI itu tidak memenuhi persyaratan untuk bisa mendapatkan pengesahan jenjang kelulusan SMA.
“Ini yang paling fatal, (syaratnya) harus memiliki ijazah atau diploma. Jadi dalam hal ini Gibran harus memiliki ijazah SMA atau SMK di luar negeri yang sederajat,” ujar Rismon saat mendatangi Kemendikdasmen, Jakarta, Rabu (15/10).
Riwayat pendidikan Gibran setelah menamatkan SMPN 1 Surakarta itulah yang menjadi tanda tanya besar bagi RRT
Hal itu pula yang kini tengah bergulir dalam persidangan di PN Jakarta Pusat.
Pengacara Subhan Palal menguggat keabsahan pendikan SMA suami Selvi Ananda itu. Bahkan, dalam petitumnya, Subhan menuntut ganti rugi Rp 125 triliun untuk rakyat.
Gugatan terhadap Gibran dan KPU teregister dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.
Subhan mendalilkan penyetaraan ijazah SMA atau sederajat milik Gibran tidak valid sehingga melanggar syarat pendaftaran cawapres RI, yakni minimal SMA sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Namun, di balik apa yang dipersoalkan mengenai keabsahan Gibran mendaftar sebagai cawapres, KPU sebenarnya telah memasang ketentuan menihilkan syarat pendidikan jenjang SMA jika peserta memiliki ijazah.
Hal itu termuat dalam Pasal 18 ayat 3 dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Bunyinya: “(3) Bukti kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dikecualikan bagi bakal calon Presiden atau calon Wakil Presiden yang tidak memiliki bukti kelulusan sekolah menengah atas dari sekolah asing di luar negeri dan telah memiliki bukti kelulusan perguruan tinggi.”
Ayat itu meneguhkan andaikan Gibran tak mengantongi ijazah SMA, ia tetap memenuhi syarat karena memiliki ijazah sarjana.
Kampus Management Development Institute of Singapore (MDIS) telah menyatakan Gibran sebagai mahasiswa dan lulus sarjana Universitas Bradford, Inggris yang pada 2007-2010 mengikat kerja sama pendidikan dengan MDIS.
Meski demikian, pakar kebijakan publik Bonatua Silalahi mengingatkan bahwa PKPU/19/2023 baru lahir setelah munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka ruang bagi calon di bawah usia 40 tahun asal pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
“Dalam situasi itulah, KPU kemudian menambahkan Pasal 18 ayat (3) yang memberi pengecualian terhadap bukti kelulusan SMA bagi calon yang telah memiliki ijazah perguruan tinggi,” kata Bonatua saat dihubungi Publicanews, Minggu (18/10).
Bonatua menjelaskan bahwa jika ditarik benang merahnya, dua perubahan besar dalam PKPU/19/2023 —yakni usia dan ijazah— sama-sama menciptakan pathway atau jalur hukum baru yang secara kebetulan menguntungkan satu figur tertentu, yaitu Gibran.
“Ini yang membuat publik menilai ada rekayasa regulatif, bukan sekadar harmonisasi teknis,” ia menjelaskan.
Menurut Bonatua, dari sisi kebijakan publik, masalahnya bukan pada nama orangnya, tetapi pada proses kebijakan yang kehilangan prinsip kehati-hatian (prudence) dan partisipasi publik.
“Tidak ada catatan uji publik, tidak ada berita acara pleno yang dibuka ke masyarakat, dan perubahan pasal justru dilakukan menjelang pendaftaran calon presiden,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa semua itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), yang mewajibkan setiap badan publik menerapkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam setiap keputusan yang berdampak pada kepentingan umum.
Bonatua yang selama ini gigih menuntut bukti ijazah Jokowi ke KPU itu menegaskan lahirnya ketentuan KPU tak bisa dipungkiri untuk memuluskan Gibran dalam Pilpres 2024 karena dia yang secara langsung mendapat keuntungan dari aturan baru tersebut.
“Tetapi secara kajian kebijakan publik, masalah yang lebih serius bukan soal siapa yang diuntungkan, melainkan soal bagaimana hukum bisa diubah secara diam-diam demi kepentingan politik sesaat,” katanya.
Itu pertanyaan hakiki, siapa yang akan menjawab?
Sumber: PublicaNews