Indikasi Markup Proyek Whoosh ‘Mengerikan’, Ekonom PEPS: Pembengkakan Biaya Tak Wajar Harus Diselidiki!

DEMOCRAZY.ID – Dugaan Markup Proyek Whoosh ‘Mengerikan’, Ekonom Sebut Pembengkakan Biaya Tak Wajar Harus Diselidiki!

Ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh sudah sangat tepat.

Menurutnya, bila APBN dipakai untuk menutup utang tersebut, maka tindakan itu bisa masuk kategori pelanggaran.

“Nah ini tidak boleh dan ini bisa melanggar. Dan kalau APBN digunakan untuk itu jadi yang akan menanggung itu Menteri Keuangan sendiri, karena ini akan melanggar APBN,” ujar Anthony dalam podcast Madilog di channel YouTube Forum Keadilan TV, yang tayang pada Senin, 20 Oktober 2025.

Anthony menegaskan, dalam APBN 2025 maupun 2026 tidak terdapat satupun mata anggaran untuk membiayai proyek kereta cepat.

Karena itu, penolakan Purbaya hanya menegaskan fakta hukum dan anggaran yang sudah jelas.

“Dalam APBN 2025 tidak ada dana untuk mata anggaran kereta cepat. Mau apapun itu, mau bunga, mau apa, nggak ada,” tegasnya.

“Dan 2026 pun tidak ada. Kan sudah disahkan kan undang-undang tentang APBN 2026. Jadi tidak ada. Jadi pernyataan Menteri Keuangan Purbaya adalah cuma menegaskan, eh ini kita nggak ada mata anggarannya. Jadi tidak bisa dipakai,” imbuh Anthony.

Sejak Awal Sarat Masalah

Anthony menyebut proyek kereta cepat Whoosh bukan sekadar proyek transportasi yang tersendat, namun sejak awal sudah sarat persoalan mendasar. Banyak masukan publik yang memperingatkan proyek ini tidak layak secara ekonomi dan berpotensi menjadi beban negara.

“Sejak proyek ini mau diluncurkan, mau diinisiasi, itu sudah dibilang, banyak sekali orang-orang memberikan masukan bahwa proyek ini tidak visible. Tidak bisa untuk dilakukan,” tegasnya.

Menurut Anthony, rencana awal proyek ini seharusnya mencakup jalur Jakarta–Surabaya, namun kemudian dialihkan menjadi Jakarta–Bandung.

Jepang pun awalnya diikutsertakan dalam tender. Namun, dugaan kuatnya keikutsertaan Jepang hanya sebagai alat pengontrol harga dan justifikasi tender.

“Saya mencurigai begini, bahwa Jepang diikutsertakan karena untuk mengontrol harga. Karena harga dari itu kan murah sekali, dari China seharusnya murah. Mungkin bisa 60 persennya dari Jepang. Nah makanya Jepang diikutsertakan, kesatu adalah memang harus ada tender, dan kedua adalah memang untuk mengkontrol harga. Jadi semacam justifikasi,” jelas Anthony.

Ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh sudah sangat tepat.

Menurutnya, bila APBN dipakai untuk menutup utang tersebut, maka tindakan itu bisa masuk kategori pelanggaran.

“Nah ini tidak boleh dan ini bisa melanggar. Dan kalau APBN digunakan untuk itu jadi yang akan menanggung itu Menteri Keuangan sendiri, karena ini akan melanggar APBN,” ujar Anthony dalam podcast Madilog di channel YouTube Forum Keadilan TV, yang tayang pada Senin, 20 Oktober 2025.

Anthony menegaskan, dalam APBN 2025 maupun 2026 tidak terdapat satupun mata anggaran untuk membiayai proyek kereta cepat.

Karena itu, penolakan Purbaya hanya menegaskan fakta hukum dan anggaran yang sudah jelas.

“Dalam APBN 2025 tidak ada dana untuk mata anggaran kereta cepat. Mau apapun itu, mau bunga, mau apa, nggak ada,” tegasnya.

“Dan 2026 pun tidak ada. Kan sudah disahkan kan undang-undang tentang APBN 2026. Jadi tidak ada. Jadi pernyataan Menteri Keuangan Purbaya adalah cuma menegaskan, eh ini kita nggak ada mata anggarannya. Jadi tidak bisa dipakai,” imbuh Anthony.

Sejak Awal Sarat Masalah

Anthony menyebut proyek kereta cepat Whoosh bukan sekadar proyek transportasi yang tersendat, namun sejak awal sudah sarat persoalan mendasar. Banyak masukan publik yang memperingatkan proyek ini tidak layak secara ekonomi dan berpotensi menjadi beban negara.

“Sejak proyek ini mau diluncurkan, mau diinisiasi, itu sudah dibilang, banyak sekali orang-orang memberikan masukan bahwa proyek ini tidak visible. Tidak bisa untuk dilakukan,” tegasnya.

Menurut Anthony, rencana awal proyek ini seharusnya mencakup jalur Jakarta–Surabaya, namun kemudian dialihkan menjadi Jakarta–Bandung.

Jepang pun awalnya diikutsertakan dalam tender. Namun, dugaan kuatnya keikutsertaan Jepang hanya sebagai alat pengontrol harga dan justifikasi tender.

“Saya mencurigai begini, bahwa Jepang diikutsertakan karena untuk mengontrol harga. Karena harga dari itu kan murah sekali, dari China seharusnya murah. Mungkin bisa 60 persennya dari Jepang. Nah makanya Jepang diikutsertakan, kesatu adalah memang harus ada tender, dan kedua adalah memang untuk mengkontrol harga. Jadi semacam justifikasi,” jelas Anthony.

Indikasi Markup ‘Mengerikan’

Anthony mengungkap adanya indikasi kuat penggelembungan biaya atau markup dalam proyek Whoosh.

Awalnya, China menawarkan biaya USD5,5 miliar, namun naik menjadi USD6,02 miliar — sekitar USD41,96 juta per kilometer.

Padahal, proyek serupa di China hanya menelan USD17–30 juta per km. Di Indonesia, angka itu bahkan membengkak hingga USD52 juta per km.

Sebagai pembanding, proyek kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km dengan kecepatan 350 km/jam hanya menelan USD22,93 juta per km.

Artinya, biaya proyek Whoosh lebih mahal sekitar USD19 juta per km, atau kelebihan sekitar USD2,7 miliar.

“Nah ini yang harus diselidiki, kenapa bisa sampai proyek ini dua kali lipat lebih tinggi dari yang di China. Itu yang pertama. Seharusnya waktu USD6 juta tahap penawaran awal, yang kita deal awal, itu kemudian ada pembengkakan biaya,” ujar Anthony.

Proses Tender Dinilai Tidak Profesional

Anthony juga menyebut proses evaluasi proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak pada pihak tertentu, sehingga melanggar prinsip pengadaan barang publik.

Jepang kemudian digugurkan karena meminta jaminan APBN, sementara China yang awalnya mengaku tidak perlu jaminan APBN justru kini meminta suntikan dana negara.

“Nah ini harus dilihat, pembengkakan biaya ini tidak normal. Dan ini harusnya ditanggung oleh siapa? Ditanggung oleh kontraktor atau ditanggung oleh perusahaan konsorsium ini? Nah ini kan seharusnya kita ada dua. Jadi ada perusahaan konsorsium, lalu ada kontraktor yang menjalankan proyek dari Jakarta-Bandung. Nah ini harusnya berhenti. Harusnya adalah tidak ada lagi penambahan-penambahan,” tegasnya.

Anthony menilai dugaan markup dalam proyek ini bukan sekadar perbedaan harga teknis, akan tetapi sinyal kuat adanya pelanggaran serius dalam perencanaan, pengadaan, dan pengelolaan utang proyek nasional.

Ia mendesak agar proses investigasi menyeluruh dilakukan, bukan sekadar tambal sulam lewat utang baru.

Sumber: Konteks

Artikel terkait lainnya