DEMOCRAZY.ID – Kasus paparan radioaktif di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten, bikin publik heboh.
Temuan radiasi Cesium-137 (Cs-137) dengan intensitas tinggi membuat banyak orang membandingkannya dengan tragedi nuklir Chernobyl di Ukraina.
Tapi, apakah keduanya benar-benar sebanding?
Pemeriksaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Bapeten mendeteksi kadar radiasi mencapai 33.000 mikrosievert per jam, atau sekitar 875 ribu kali di atas ambang normal.
Angka ini memang ekstrem, tapi berbeda jauh dari Chernobyl yang melibatkan ledakan reaktor nuklir dan pelepasan material radioaktif lintas negara.
Radiasi di Cikande diduga berasal dari limbah industri logam, bukan dari fasilitas nuklir.
Artinya, tidak ada ledakan reaktor, tidak ada pelepasan multi-nuklida, dan belum ada penyebaran lintas wilayah.
Meski begitu, potensi bahaya jangka panjang tetap nyata, terutama bagi pekerja dan warga sekitar.
Pemerintah bergerak cepat.
Zona merah sudah ditetapkan, pemetaan radiasi dilakukan, dan tim dekontaminasi mulai bekerja.
Sembilan orang dilaporkan terpapar Cs-137, kini dalam pengawasan medis Kementerian Kesehatan.
Polri juga menyiapkan evakuasi terbatas untuk warga zona merah ke lokasi aman seperti BLK, Gedung PGRI, dan Wisma Bhayangkara.
Kasus ini resmi ditetapkan sebagai Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cs-137, dan penyelidikan sudah naik ke tahap penyidikan oleh Bareskrim Polri.
Fokusnya melacak asal material radioaktif, apakah dari impor scrap atau penyalahgunaan bahan industri.
Fakta-Fakta Penting Radiasi Cikande
Kontaminasi lintas produk: Jejak Cs-137 juga terdeteksi di udang beku ekspor ke AS, meski masih bisa ditangani.
Sumber dugaan: Radiasi diduga berasal dari slag baja milik PT Peter Metal Technology Indonesia (PMT).
Intensitas ekstrem: 33.000 µSv/jam—setara 875.000 kali ambang normal.
Pemerintah siaga: Pembentukan Satgas Penanganan Radiasi Cs-137 lintas lembaga.
Warga dilindungi: Rencana relokasi sementara demi menjaga keselamatan dan aktivitas sosial tetap berjalan.
Secara ilmiah, Cikande bukan Chernobyl versi Indonesia.
Namun, paparan Cs-137 tetap berbahaya, bisa memicu kanker, merusak jaringan, dan mengganggu ekosistem bila dibiarkan.
Para ahli menegaskan, skala kecil bukan berarti aman.
Penanganan harus presisi dan transparan agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Masyarakat diimbau tidak panik, tapi tetap waspada, menunggu hasil investigasi resmi, dan mengikuti arahan pemerintah.
Sumber: Konteks