Dewan Ekonomi Nasional Kupas Masalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Bukan Jebakan Utang, Tapi…

DEMOCRAZY.ID – Sekretaris Eksekutif Dewan Ekonomi Nasional, Septian Hario Seto, membeberkan duduk perkara di balik tarik ulur proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB).

Ia menjelaskan perbedaan mendasar antara proposal Jepang dan China, potensi masalah pada skema bisnis Transit Oriented Development (TOD), hingga dampak kerugian kurs terhadap keuangan proyek.

Dalam penjelasannya, Seto menegaskan bahwa isu “jebakan utang” yang ramai di publik tidak sepenuhnya tepat, melainkan persoalan pada struktur pembiayaan dan proyeksi penumpang yang terlalu optimistis.

Penegasan ini menjadi kunci untuk memahami bagaimana data proyeksi tersebut muncul, serta bagaimana perbedaannya bisa berdampak pada keputusan politik dan finansial di tingkat nasional yang dijelaskan Septian Hario Seto pada akun YouTube Prof Rhenald Kasali, dikutip Senin (27/10/2025).

Setelah menjelaskan struktur pendanaan, Seto juga menyoroti sisi bisnis proyek yang dianggap belum matang sejak awal, yakni sektor TOD.

Menurut penjelasan itu, Jepang mengajukan model pendanaan berbasis pinjaman pemerintah, sehingga proyek menjadi milik negara dan pembayarannya melalui APBN.

“Yang utama adalah waktu itu Jepang mau membiayai proyek ini kalau pinjamannya itu ke negara, ke pemerintah. Jadi ini milik pemerintah Indonesia. Pembayaran utang menggunakan APBN secara langsung,” jelasnya.

Sedangkan skema China kata dia, bersifat business-to-business (B2B), di mana pinjaman diberikan kepada perusahaan joint venture, yakni KCIC, dengan porsi kepemilikan 60% Indonesia dan 40% China.

TOD digadang-gadang sebagai pilar bisnis non tiket yang akan menopang keuntungan jangka panjang.

Namun dalam evaluasinya, narasumber menyoroti ketidakjelasan dalam pembagian investasi dan model bagi hasil.

“Waktu mengevaluasi proposal itu sempat melihat loh kok TOD ada kontribusi revenue-nya, tapi investment-nya siapa yang melakukan, terus bagaimana model revenue sharing, itu nggak ada. Jadi angkanya tuh kayak muncul gitu. Saya udah notice waktu itu, eh ini potensinya akan bermasalah,” ungkapnya.

Kenyataannya, realisasi jumlah penumpang jauh di bawah proyeksi awal.

Kajian konsultan pada 2022 memperkirakan hanya 29–31 ribu penumpang per hari, sedangkan data realisasi menunjukkan sekitar 18 ribu per hari.

Tak hanya soal penumpang, proyek KCJB juga menghadapi lonjakan biaya.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan mencatat angka lebih tinggi dari yang dinegosiasikan.

“Waktu itu kita meminta BPKP untuk melakukan audit, dari BPKP sebenarnya angkanya agak lebih tinggi. Sekitar 1,44 miliar dolar,” kata Seto.

“Namun setelah negosiasi dengan pihak China, cost overrun disepakati menjadi sekitar 1,2 miliar,” tambahnya.

Untuk mencegah penyimpangan, BPKP dilibatkan dalam pengawasan penggunaan dana tambahan ini.

Kerugian kurs menjadi salah satu penyebab utama tekanan finansial proyek.

Sebagian besar pinjaman berdenominasi dolar AS (USD), menyebabkan kerugian ketika nilai tukar melemah.

“Dan kerugian terbesar itu di generate karena kerugian kurs dari USD, loan yang kita miliki,” katanya.

Pemerintah kini mempertimbangkan opsi restrukturisasi pinjaman, baik dengan memperpanjang tenor, mengubah denominasi ke Rupiah atau Yuan, maupun menurunkan bunga.

“Kita harus do something nih, supaya memperkecil rugi kursnya. Apakah kita lakukan perubahan karansi, apakah nanti jadi Rupiah semua, atau kita jadikan Yuan,” ujarnya.

Dari sisi operasional, KCJB mulai menunjukkan hasil menggembirakan.

Proyek ini disebut sudah mencapai Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) positif menandakan pendapatan operasional mampu menutup biaya harian.

“Kalau EBITDA itu kita hanya menghitung pendapatan dikurangi beban-beban operasional. ini berarti kita mampu lah untuk running. Karena tadi ini sudah positif. Tahun ini mungkin kira-kira 700 miliar,” jelasnya.

Namun ketika beban bunga dan depresiasi aset dimasukkan, profit bersih masih negatif.

“Namun kemudian yang jadi masalah adalah tadi. Oh ketika kita mulai masukin interest expense ya jebol,” jelas Seto.

Narasi “jebakan utang” ala Sri Lanka kembali mencuat, namun narasumber menilai perbandingan tersebut tidak relevan.

“Maksudnya pemerintah menjaminkan apa gitu ya… nggak ada,” katanya.

Menurutnya, kasus Sri Lanka melibatkan divestasi aset dengan nilai transaksi, bukan pemberian gratis.

“China membayar 1,2 miliar dolar untuk 70 persen… Cina juga menanggung 70 persen dari utang itu.” ujar sekretaris itu.

Sumber: Suara

Artikel terkait lainnya