Bak Cacing Kepanasan: Luhut Geram, Purbaya Tegak di Atas Prinsip!

Bak Cacing Kepanasan: Luhut Geram, Purbaya Tegak di Atas Prinsip!

Oleh: Ali Syarief | Akademisi

Tak banyak pejabat berani berkata tidak di hadapan kekuasaan, apalagi ketika proyek raksasa bernama Whoosh—kereta cepat Jakarta–Bandung—sudah sejak lama dijadikan simbol “kemajuan bangsa” yang dipaksakan.

Tapi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memilih jalan yang jarang dilalui: menolak menalangi utang proyek itu dari APBN.

Dan sejak kalimat itu keluar dari mulutnya, politik di sekitar Istana mendadak panas.

Yang paling geram, konon, adalah Luhut Binsar Pandjaitan. Ia keceplosan di depan awak media, mengatakan proyek Whoosh itu “sudah busuk sedari awal”.

Sebuah kalimat yang terdengar seperti ledakan frustrasi, tapi sekaligus pengakuan terselubung: bahwa proyek yang dulu mati-matian ia kawal kini mulai berbau busuk di hidung publik.

Pernyataan itu seolah hendak melempar batu, tapi justru pecah di tangannya sendiri—karena publik tahu, siapa eksekutor sesungguhnya dari proyek Whoosh sejak hari pertama.

Luhut tampak seperti cacing kepanasan. Ucapan Purbaya—“tidak mau membayar dari APBN”—adalah tamparan moral bagi sistem yang selama ini gemar memindahkan beban bisnis ke punggung rakyat.

Ia tak hanya menolak, tapi juga menelanjangi pola lama yang biasa terjadi di proyek-proyek strategis nasional: untung buat segelintir, rugi ditanggung negara.

Dan seperti hukum besi di republik ini, siapa pun yang terlalu jujur akan selalu dicurigai.

Maka rumor pun merebak: Purbaya terancam di-reshuffle. Seolah integritas kini menjadi kesalahan administratif, dan ketegasan dianggap dosa politik.

Isu itu menguap dari ruang-ruang gosip istana, disebarkan oleh mereka yang gelisah karena rantai kepentingan mulai terguncang.

Bagi sebagian orang, Purbaya adalah batu sandungan—karena ia tidak mau menandatangani cek kosong untuk menambal lubang yang digali sendiri oleh kekuasaan.

Tapi bagi publik, sikapnya adalah secercah harapan bahwa masih ada pejabat yang memegang garis moral di tengah rawa kepentingan.

Luhut boleh saja menepis tanggung jawab, menyebut proyek Whoosh “busuk sedari awal” seolah dirinya hanya penonton.

Tapi sejarah mencatat siapa yang paling bersemangat memotong pita peresmian, siapa yang mengundang investor Tiongkok dengan janji manis, dan siapa yang memaksakan penyelesaian proyek meski hitungannya tidak masuk akal.

Kini, ketika utang jatuh tempo dan beban membengkak, tangannya mencari bahu lain untuk memikulnya.

Purbaya memilih berdiri di garis yang sulit—garis di mana logika ekonomi bertabrakan dengan logika politik.

Ia paham bahwa APBN bukan celengan pribadi, bukan pula tempat menampung kegagalan proyek ambisius.

Dalam konteks itu, keberaniannya bukan sekadar teknokratis, tapi politis.

Dan mungkin itulah yang membuat ia kini berada di ujung ancaman reshuffle.

Karena di republik yang terlalu sering menjadikan loyalitas lebih penting dari akuntabilitas, menolak tunduk adalah bentuk pembangkangan.

Namun bagi rakyat yang masih menaruh harapan pada pemerintahan yang waras, Purbaya adalah anomali yang menyegarkan: pejabat yang memilih dihantam badai daripada menipu nurani.

Jika sejarah punya nurani, barangkali ia akan mencatat bahwa di tengah pesta kekuasaan yang penuh tipu muslihat, ada satu nama yang memilih berdiri tegak, menolak menjadi bagian dari kebohongan berjamaah.

Dan di saat itulah, para cacing mulai kepanasan. ***

Artikel terkait lainnya