Ada Apa dengan Mahfud MD dan Luhut?

DEMOCRAZY.ID – Sejak awal, publik menilai proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau kini disebut Whoosh, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).

Ia sering dipersepsikan sebagai “eksekutor” di balik proyek ambisius Jokowi ini—seorang problem solver yang dikirim untuk membereskan proyek strategis nasional yang macet.

Namun pernyataan Mahfud MD baru-baru ini mengguncang persepsi itu.

Dalam wawancara dengan Kompas TV pada 28 Oktober 2025, Mahfud secara terang menyatakan keraguannya bahwa Luhut terlibat sejak awal proyek Whoosh.

Menurutnya, kontrak awal proyek tersebut terjadi pada 2015–2016, jauh sebelum Luhut mendapatkan mandat yang bersentuhan langsung dengan proyek ini.

Ia bahkan menegaskan bahwa Luhut baru ditugaskan Jokowi menangani proyek tersebut pada 2020, ketika “barang itu sudah busuk.”

Pernyataan Mahfud ini menantang nalar publik yang sudah terlanjur percaya bahwa Luhut adalah figur sentral sejak perencanaan awal proyek.

Ada yang menilai, Mahfud sedang menempatkan dirinya sebagai counter narrative terhadap stereotip “Luhut di mana-mana.”

Tetapi ada pula yang membaca pernyataannya sebagai bentuk diplomasi moral—upaya meluruskan persepsi agar tanggung jawab proyek tidak seluruhnya ditimpakan kepada satu orang.

Namun, sulit menafsirkan pernyataan Mahfud tanpa membaca relasi politik yang lebih luas.

Sebagai mantan Menkopolhukam dan tokoh dengan reputasi integritas hukum, Mahfud tampak ingin menunjukkan sikap objektif—bahwa kesalahan dalam proyek Whoosh adalah sistemik, bukan personal.

Tapi publik justru menangkap sinyal lain: mengapa Mahfud seolah ingin “melunakkan” peran Luhut di tengah berbagai tudingan tentang kegagalan dan pembengkakan biaya proyek itu?

Ada dua tafsir yang mungkin. Pertama, Mahfud sedang menegaskan prinsip tanggung jawab komando, sebagaimana ia jelaskan: “Kalau di militer, kalau ada apa-apa yang bertanggung jawab adalah atasan yang memberi tugas.”

Ia ingin menekankan bahwa Luhut hanyalah pelaksana dari perintah presiden. Tafsir ini menempatkan Luhut sebagai loyalis murni, bukan inisiator proyek.

Kedua, Mahfud mungkin sedang mengingatkan publik bahwa kritik terhadap proyek Whoosh seharusnya diarahkan ke sumber keputusan—bukan hanya ke figur pelaksana.

Dengan kata lain, jika proyek ini menjadi beban fiskal negara, maka tanggung jawab utamanya bukan pada Luhut, tetapi pada visi pembangunan Jokowi sendiri yang menempatkan ambisi sebagai prioritas di atas kelayakan.

Di sisi lain, publik sulit melupakan kenyataan bahwa Luhut memang kerap muncul dalam setiap proyek strategis Jokowi—dari nikel, hilirisasi, hingga IKN.

Citra “Luhut di segala lini” sudah menjadi bagian dari lanskap kekuasaan era Jokowi.

Maka, ketika Mahfud meragukan keterlibatan awal Luhut dalam proyek kereta cepat, opini publik pun menjadi canggung: apakah ini klarifikasi faktual, atau justru bentuk “penyelamatan” reputasi seorang loyalis utama presiden?

Hubungan Mahfud dan Luhut sendiri menarik. Keduanya sama-sama tokoh senior, sama-sama loyal pada Jokowi, namun berdiri di kutub pendekatan yang berbeda.

Mahfud berpijak pada etika hukum dan moral konstitusional, sedangkan Luhut beroperasi dengan logika kekuasaan dan efektivitas militeristik.

Maka ketika Mahfud bicara soal Luhut, sesungguhnya yang sedang ia uji bukan sekadar peran seseorang dalam proyek Whoosh, melainkan sejauh mana loyalitas dan tanggung jawab bisa dibedakan dari keterlibatan.

Di ujungnya, publik bertanya: ada apa dengan Mahfud MD dan Luhut?

Apakah ini sekadar perbedaan pandangan dua sahabat dalam lingkar kekuasaan, atau sinyal dari Mahfud bahwa persoalan Whoosh tak bisa disederhanakan dengan mencari kambing hitam tunggal?

Yang jelas, dari polemik ini, satu hal tampak nyata: proyek ambisius yang dibungkus jargon kemajuan kini menjadi simbol dari bagaimana kekuasaan bekerja—di mana tanggung jawab kabur, dan persepsi publik menjadi medan perebutan narasi.

Sumber: FusilatNews

Artikel terkait lainnya