DEMOCRAZY.ID – Pakar telematika Roy Suryo menegaskan, kalaupun betul Gibran Rakabuming Raka “lulusan” sarjana MDIS, posisinya sebagai wapres tetap tidak sah.
“Mau dia [Gibran] lulus S1, mau dia lulus sampai S3 sekalipun, sudah ada yurisprudensi,” kata Roy dalam siniar Forum Keadilan Tv dikutip pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Roy mengungkapkan, sudah ada yurisprudensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan pencalegan seorang doktor dari Surabaya.
“KPU membatalkan pencalegan seorang dari Surabaya, yang dia menggunakan e-certificate kelulusan S3 doktor di Amerika, tapi dia enggak punya ijazah SMA,” ucapnya.
Roy menegaskan, KPU menyatakan pencalegan doktor tersebut batal demi hukum. Demikian juga pencawapresan Gibran karena Pasal 169 huruf R Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 sangat tegas.
“Pasal 169 huruf R jelas betul menuliskan, capres dan cawapres minimal berijazah SMA, garis miring sekolah menengah kejuruan, garis miring Madrasah Aliyah, garis miring atau yang sederajat,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Roy, capres harus mempunyai ijazah SMA atau sederaja atau penyetaraannya.
Ia menjelaskan, persoalannya karena kurikulum di Singapura seperti diterangkan oleh Assoc. Prof. Sulfikar Amir dari Nanyang Technical University Singapore.
“Kalau dia cerdas betul, dia bisa saja hanya menempuh secondary school 2 plus 1,” katanya.
Menurut penjelasan dia, kata Roy, itu bisa kalau siswa tersebut benar-benar pintar. Tapi, itupu hanya bisa melanjutkannya ke politeknik.
Sedangkan untuk bisa ke perguruan tinggi, lanjut Roy, harus mengambil dan lulus matrikulasi selama setahun. Artinya dia punya ijazah SMA.
“Tapi ini memang masalahnya seperti yang dikatakan, saya harus sebut ya, seperti yang dikatakan Bu Ina Lim,” ujarnya.
Ina Lim menyebut bahwa bagaimana sulitnya penyetaraan. Roy menyebut aneh tiba-tiba UTS Insertch mengeluarkan surat.
“Karena pathway yang ada pada matrikulasi di UTS ini, kurikulumnya jauh berbeda dengan SMK. Kenapa ini bisa disetarakan dengan sekolah menengah kejuran?” ucapnya.
Roy menjelaskan, persoalannya karena perbedaan sistem kurikulum SMP dan SMA di Singapura dan Australia dengan kurikulum di Indonesia.
“Di Indonesia dan di Singapura tuh hanya sama pada level elementary-nya, pada level SD-nya. Enam tahun sama, tapi begitu SMP lain, dia SMP, SMA digabung jadi satu. Kita tidak, kita ada junior [SMP sederajat] kemudian ada senior [SMA sederajat],” katanya.
Roy menegaskan, bahwa penyetaraan tersebut tetap harus mempunyai ijazah SMA. Menurutnya, ini yang membuat caleg doktor dari Surabaya itu dinyatakan tidak memenuhi syarat.
“Tetap dia gagal karena tidak ada ijazah SMA atau penyetaraan,” katanya.
Roy menjelaskan, kalau penyetaraan maka penetapannya bukan menggunakan surat keterangan tetapi keputusan.
“SK, surat keputusan milik Gibran juga yang untuk MDIS, tapi ini tidak akan bisa berlaku tanpa ada ijazah SMA-nya,” kata dia.
Roy mengatakan, ijazah SMA atau sederajat inilah yang digugat Subhan Palal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
“Pak Subhan itu karena jeli, dia melihat tidak ada ijazah SMA yang dimiliki oleh Gibran,” katanya.
Sumber: Konteks