Mengapa Para Termul Itu Seolah-Olah Masih Merasa Bahwa Presiden RI Adalah Jokowi?

Mengapa Para Termul Itu Seolah-Olah Masih Merasa Bahwa Presiden RI Adalah Jokowi?

Oleh: Ali Syarief | Akademisi

Ada fenomena menarik sekaligus mengganggu yang kini menggelayuti kehidupan politik kita: segelintir orang yang mengaku pendukung Prabowo, namun masih berperilaku seolah-olah Presiden RI tetaplah Jokowi.

Mereka tampil sok kuasa, sok benar, dan tak jarang bersikap seakan memiliki mandat moral untuk mengatur narasi politik bangsa.

Mereka lupa — atau pura-pura lupa — bahwa roda kekuasaan telah berganti arah.

Dalam teori politik klasik, sistem politik suatu negara terdiri dari suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

Suprastruktur politik adalah lembaga resmi negara: Presiden, DPR, DPD, lembaga yudikatif, dan kementerian. Di sinilah kekuasaan formal dijalankan.

Infrastruktur politik, sebaliknya, adalah kekuatan sosial yang bekerja di luar lembaga resmi, tapi memengaruhi kehidupan politik: partai politik, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media massa, dan organisasi profesi.

Nah, para “termul” — sebutan untuk sisa-sisa euforia kekuasaan Jokowi — tampaknya masih ingin hidup di ruang abu-abu antara keduanya.

Mereka tidak memiliki posisi dalam suprastruktur, tetapi mencoba mempertahankan pengaruhnya lewat jalur infrastruktur politik liar.

Mereka menciptakan pseudo-struktur yang meniru fungsi politik resmi: mengatur opini, menekan pihak lain, bahkan seolah menjadi corong legitimasi pemerintah yang sudah lewat masa baktinya.

Padahal, dalam teori politik yang sehat, kelompok penekan (pressure group) berfungsi memperjuangkan aspirasi rakyat melalui cara-cara demokratis — bukan menebar intimidasi atau menakuti pihak yang berbeda pandangan.

Namun, yang terjadi kini, relawan yang mestinya berperan sebagai kekuatan sosial malah berubah menjadi gerombolan politik.

Mereka tidak lagi mendorong partisipasi warga, melainkan mempersempit ruang demokrasi dengan retorika kesetiaan personal.

Ironisnya, sebagian dari mereka kini mengaku mendukung Prabowo, tapi sikapnya masih mencerminkan mentalitas “pelindung Jokowi”.

Mereka gagal membedakan antara loyalitas politik dan fanatisme personal.

Maka wajar jika muncul pertanyaan: apa hebatnya mereka yang mengaku memilih Prabowo, bila cara berpikirnya masih seperti penjaga warisan kekuasaan lama?

Relawan sejati sejatinya adalah mereka yang turun tangan ketika bencana melanda, membantu sesama tanpa pamrih, tanpa kamera, tanpa sorotan media.

Gerakan mereka lahir dari empati, bukan dari ambisi.

Sedangkan mereka yang kini menamakan diri “relawan politik” namun justru menebar ketakutan, lebih layak disebut kelompok penekan yang kehilangan arah — atau bahkan genk politik yang mencari identitas baru setelah kehilangan pusat kekuasaan.

Sudah saatnya pemerintah menata ulang peran relawan dalam sistem demokrasi kita.

Bila keberadaan mereka hanya menjadi sumber provokasi, penyebar kebencian, dan penghambat proses politik yang sehat, maka keberadaannya perlu dikaji ulang.

Negara tidak butuh “relawan” yang merasa diri lebih berdaulat daripada hukum dan konstitusi.

Kepemimpinan adalah mandat yang berganti, namun pengabdian pada bangsa tidak pernah berakhir. Jokowi bukan lagi presiden, dan Prabowo bukan bayangannya.

Bila para termul masih merasa hidup dalam orbit kuasa lama, itu bukan tanda kesetiaan — melainkan tanda kehilangan arah.

Dan sementara mereka sibuk mempertahankan mitos kuasa, rakyat sejati hanya ingin melihat negeri ini pulih dari luka politik — bukan terus diseret dalam drama geng relawan yang tak tahu kapan harus menepi. ***

Artikel terkait lainnya