

Oleh: Edy Mulyadi | Wartawan Senior
Malam itu, Senin, 6 Oktober 2025, markas besar Polri masih terang benderang.
Di luar jam normal, Jenderal Listyo Sigit Prabowo memimpin upacara kenaikan pangkat untuk sejumlah perwira tinggi: bintang dua, bintang tiga, dan para kombes.
Waktunya janggal, memang. Tapi timing jarang bohong. Dalam politik kekuasaan, tak ada kebetulan.
Kenaikan pangkat semacam ini, apalagi menjelang isu pergantian pucuk pimpinan, selalu punya dua wajah.
Di permukaan, ia tampak sebagai penghargaan atas pengabdian.
Inilah yang dinarasikan secara resmi oleh pejabat Polri kepada publik. Tapi di balik layar, bisa jadi itu bagian dari manuver pengamanan.
Cara halus seorang pemimpin yang merasa masa jabatannya di ujung tanduk. Tujuannya, untuk memastikan jaringannya tetap hidup setelah dia turun.
Manuver mengutak-atik jabatan jelang lengser bukan baru kali ini Sigit lakukan. Selama beberapa waktu terakhir, dia rajin memutasi dan promosi jabatan para perwira di lingkarannya.
Pada 28 September 2024, misalnya, Sigit melantik pejabat utama Mabes Polri dan Kapolda. Dia juga menaikkan pangkat sejumlah pati dalam satu upacara besar.
Pada saat itu, dibentuk dua jabatan baru, Asisten Utama Kapri bidang Operasi (Astamaops) dan Asisten Utama Kapolri bidang Perencanaan dan Anggaran (Astamarena). Masing-masing diisi jenderal bintang tiga.
Mutasi besar-besaran pun pernah dilakukan pada 25 September 2024. Ketika itu Sigit memutasi 309 perwira Polri, termasuk 19 Pati berpangkat Irjen.
Jadi tren itu nyata: tidak hanya sekali dua kali. Maka, tidak mengherankan bila ada tafsir bahwa kejadian malam 6 Oktober 2025 bukan sekadar “upacara biasa yang digelar malam” melainkan bagian dari manuver struktural yang lebih luas.
Dalam sistem hierarkis seperti Polri, jabatan bukan sekadar struktur birokrasi.
Jabatan adalah sumber kekuasaan riil. Akses terhadap informasi, anggaran, proyek, dan tentu saja perlindungan hukum.
Maka, menempatkan loyalis di posisi strategis bisa menjadi langkah penting untuk menjaga “aset”, baik yang bersifat institusional maupun pribadi.
Di lingkaran internal Polri sendiri, kabar bahwa sang Kapolri punya jejaring ekonomi di sektor tambang dan judi online bukan rahasia besar.
Rumor itu beredar di antara perwira menengah hingga elite intelijen. Konon, arus uang dari bisnis-bisnis kelam itu begitu deras.
Saking gurihnya gosip itu, hingga ada yang menyebut Sigit kini termasuk orang paling likuid di Indonesia. Ya, likuid. Karena bukan aset, tapi uang tunai dalam jumlah super super super fantastis.
Tentu, semua ini masih di ranah gosip. Tapi di republik dengan sejarah gelap antara kekuasaan, bisnis, dan aparat, gosip sering kali hanyalah kebenaran yang belum sempat muncul ke permukaan.
Kalau benar begitu, maka wajar bila Sigit merasa perlu pengamanan pasca-lengser.
Karena begitu pangkat dan jabatan hilang, satu-satunya tameng yang tersisa hanyalah orang-orang yang masih bertugas.
Pengamanan semacam ini lazim di dunia kekuasaan. Memastikan posisi kunci tetap diisi oleh figur yang bisa dipercaya.
Bareskrim, Propam, atau Polda strategis seperti Metro Jaya dan Kaltim adalah lokasi-lokasi penting untuk itu. Di situlah jaminan keselamatan pasca pensiun dibangun.
Tapi di luar manuver jabatan, ada soal yang jauh lebih mendasar: kegagalan moral dan kepemimpinan.
Apalagi, rekam jejak kepemimpinan Polri di bawah Sigit penuh dengan catatan cela. Citra Polri jeblok. Kekerasan aparat meningkat.
Video keberingasan dan kebiadaban Brimob kepada pada demonstran massif berseliweran di berbagai platform media sosial dan grup-grup WA.
Juga ada tragedi Sambo, Rempang, Wadas, hingga polisi yang berubah jadi centeng proyek-proyek oligarki. Publik melihat polisi lebih sibuk melayani kekuasaan daripada melindungi rakyat. Presisi cuma jadi jargon omong kosong!
Dalam situasi begini, setiap pemimpin paham betul, bahwa ketika kekuasaan berlalu, tuntutan pertanggungjawaban bisa datang dari mana saja.
Dari publik, politik, bahkan dari internal sendiri. Semuanya jadi hantu yang amat menakutkan.
Itulah mengapa langkah malam-malam itu terasa politis. Ini bukan sekadar upacara, tapi pesan: “Saya belum kalah. Struktur masih di tangan saya.”
Pesan-pesan seperti ini amat penting. Kapolri punya akses luar biasa ke data sensitif: siapa menguasai apa. Siapa bermain di mana, hingga jejak para oligarki.
Setelah jabatan itu lepas, informasi semacam itu bisa berubah jadi ancaman balik kalau digunakan oleh pihak baru.
Jadi pengamanan bisa juga dimaknai sebagai upaya mempertahankan kendali atas aliran informasi strategis.
Entah lewat orang-orang yang tetap di jabatan tertentu, atau lewat jaringan informal di lembaga itu.
Sigit juga harus memastikan, pasca lengser bakal aman secara hukum.
Seorang Kapolri purna jabatan bisa saja jadi target pembersihan institusional, apalagi jika penggantinya ingin menegaskan “era baru Polri”.
Maka, mengamankan jabatan strategis pada loyalis di Divpropam, Itwasum, dan bahkan di Bareskrim dapat berfungsi sebagai tameng agar tak ada kasus hukum yang diangkat ke permukaan.
Muatannya bisa apa saja; terkait bisnis, kebijakan, atau praktik kotor selama masa jabatannya.
Jangan lupa: pengamanan juga menyangkut opini publik. Loyalis yang masih berada di posisi berpengaruh bisa mengendalikan komunikasi internal dan eksternal agar nama sang mantan Kapolri tetap terjaga.
Ini termasuk mengontrol flow ke media, lembaga riset, dan bahkan organisasi masyarakat yang selama ini punya hubungan kerja sama dengan Polri.
Kadang pengamanan semacam ini juga bermakna membangun daya tawar terhadap kekuasaan baru.
Artinya begini: Kalau dia masih punya orang di 10–15 posisi strategis, maka siapa pun Kapolri baru nanti tidak akan bisa total memutus pengaruhnya.
Dengan begitu, Sigit tetap bisa menjadi aktor di belakang layar. Entah untuk kepentingan bisnis, politik, atau bahkan tawar-menawar hukum di masa depan.
Jadi, bukan hanya melindungi diri dari ancaman, tapi juga menyiapkan bargaining chip agar tetap diperhitungkan di masa pasca-lengser.
Masalahnya, sejarah mencatat, pengamanan semacam ini sering berakhir dengan kehancuran moral institusi.
Karena semakin besar rasa takut seorang pemimpin, semakin banyak pula keputusan yang lahir bukan dari nurani. Ia lebih banyak didorong oleh naluri bertahan hidup.
Dalam dunia kekuasaan, ketakutan adalah pangkal korupsi. Dan saat seorang Kapolri sudah perlu mengamankan diri, apalagi dari institusinya sendiri, itu pertanda bahwa institusi itu sudah kehilangan jiwanya.
Manuver di ujung kekuasaan, bisakah jadi penolong? ***