Anggota DPR Setara dengan Presiden? Ucapan Nurdin Halid di DPR Bikin ‘Heboh’ Ruang Sidang!

DEMOCRAZY.ID – Pernyataan keras Nurdin Halid di ruang rapat Komisi VI DPR RI mendadak jadi perbincangan hangat.

Dalam forum yang seharusnya membahas soal penyelamatan industri baja nasional itu, Nurdin tiba-tiba angkat suara dengan nada tinggi.

Ia menegur keras pihak Kementerian Perdagangan karena sang menteri tak hadir, padahal agenda dianggap krusial.

“Menteri itu pembantu presiden. Anggota DPR itu setara dengan presiden. Kami berdarah-darah bisa duduk di sini!”

ujar Nurdin dengan suara meninggi di hadapan peserta rapat, seperti terekam dalam video yang kini beredar luas di media sosial(11/11/2025).

Ucapan itu sontak menimbulkan reaksi beragam.

Sebagian menilai pernyataan Nurdin sebagai bentuk amarah politik atas ketidakhadiran menteri,

Sementara lainnya menganggap kalimat tersebut mencerminkan kesalahpahaman soal struktur ketatanegaraan.

Dalam sistem presidensial Indonesia, posisi DPR memang kuat, tetapi tidak berarti setara secara hierarkis dengan presiden.

Menurut laporan Antara News, rapat Komisi VI DPR RI hari itu

Seharusnya dihadiri langsung oleh Menteri Perdagangan untuk membahas arah kebijakan penyelamatan industri baja dalam negeri.

Ketidakhadiran menteri dan hanya diwakili pejabat eselon I membuat suasana memanas. Nurdin, yang juga mantan Ketua Umum Golkar, menilai hal itu sebagai bentuk tidak menghormati lembaga legislatif.

“Rakyat mempercayakan suara mereka kepada kami. Kami bukan boneka yang bisa diabaikan,” lanjutnya dalam rekaman yang sama.

Ketua Komisi VI kemudian menunda rapat dan meminta jadwal ulang dengan kehadiran Menteri Perdagangan secara langsung.

Pernyataan Nurdin itu kemudian viral dan menjadi bahan diskusi publik. Banyak warganet mempertanyakan ucapan “setara dengan presiden” yang dianggap berlebihan.

Bagi Nurdin, pernyataan tersebut tampaknya lahir dari emosi dan keinginan menegaskan wibawa DPR di hadapan kementerian yang kerap absen dalam rapat penting.

Ia bahkan menambahkan, perjuangan untuk duduk di kursi legislatif bukanlah hal mudah.

“Kami berdarah-darah bisa sampai di sini. Jadi kalau menteri absen, itu bukan cuma tidak sopan, tapi juga melukai martabat lembaga,” tegasnya.

Namun di sisi lain, publik menilai pernyataan itu justru memperlihatkan jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan pembagian kekuasaan yang saling mengimbangi.

DPR memang memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif, tetapi presiden tetap menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi.

Seorang pakar politik dari CSIS, Arya Fernandes, menilai pernyataan Nurdin harus dipahami sebagai retorika untuk menegaskan posisi DPR, bukan klaim struktural.

“Itu bahasa politik yang dimaksudkan untuk menuntut kehadiran menteri. Tapi kalau dibaca apa adanya, jelas tidak tepat secara konstitusi,” ujarnya.

Terlepas dari pro dan kontra, momen tersebut memperlihatkan ketegangan lama antara eksekutif dan legislatif terutama dalam hal kehadiran pejabat tinggi negara di rapat DPR.

Beberapa kali, Komisi VI dan Komisi VII menunda rapat karena menteri yang diundang tidak hadir.

Publik berharap, polemik seperti ini menjadi momentum memperbaiki komunikasi antarlembaga, bukan sekadar ajang adu wibawa.

Pernyataan Nurdin Halid memang menggugah perdebatan baru tentang makna “wakil rakyat” dan batasan kekuasaan.

Dalam demokrasi yang sehat, keberanian bersuara penting, tapi pemahaman terhadap konstitusi jauh lebih penting.

Dengan demikian, kemarahan Nurdin bisa dimaknai sebagai bentuk keprihatinan terhadap absennya komunikasi antara dua lembaga tinggi negara.

Namun pernyataannya tetap harus dilihat dalam bingkai hukum dan kesadaran etika bernegara.

Sejatinya, kehormatan DPR bukan ditentukan oleh perbandingan dengan presiden, tetapi oleh sejauh mana ia benar-benar bekerja untuk rakyat.

Sumber: PojokSatu

Artikel terkait lainnya