

DEMOCRAZY.ID – Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, akhirnya memilih China sebagai mitra pembangunan kereta cepat.
Dedek Prayudi, peneliti demografi sekaligus Ketua DPP PSI, mengungkap alasannya dalam Program Rosi Kompas TV pada Kamis, 30 Oktober 2025.
“Pertama, Jepang ingin 100% utang ditanggung oleh pemerintah alias APBN. Sementara China membolehkan pembiayaan ditanggung konsorsium, di mana 40% berasal dari China Development Bank,” jelas Dedek.
Alasan kedua berkaitan dengan urusan lahan. Dedek menambahkan, JICA (lembaga pembiayaan Jepang) tidak mau menyalurkan dana untuk pembebasan lahan.
“Padahal di Indonesia, pembebasan lahan ini yang paling ribet. China setuju menanggungnya melalui China Development Bank,” katanya.
Alasan terakhir, Jepang meminta jaminan semua risiko menggunakan APBN. Dedek menilai hal ini kurang fleksibel.
“Kalau terjadi masalah, APBN yang dipakai. Sedangkan China, semua risiko diambil oleh konsorsium. Rasional banget kan,” tambahnya.
Menurut Dedek, keputusan Jokowi cukup logis. Dengan model konsorsium ala China, pemerintah tidak terbebani risiko finansial. Sementara Jepang menawarkan model yang lebih berat ke APBN.
Keputusan ini berdampak langsung pada kecepatan pembangunan kereta cepat dan pengelolaan anggaran negara.
Model China dianggap lebih efisien dan aman bagi APBN.
Intinya, tiga faktor utama yaitu pembiayaan, lahan, dan risiko, menjadi pertimbangan Jokowi memilih China.
Dedek menekankan bahwa keputusan ini bukan soal politik, tapi strategi ekonomi dan logika pengelolaan proyek besar.
Sumber: Konteks