

DEMOCRAZY.ID – Gelombang kritik terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menguat setelah Politikus PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, menyampaikan pernyataan keras bahwa Indonesia akan “makin hancur” bila Gibran tidak segera dimakzulkan dari jabatannya.
Beathor menilai keberadaan Gibran bukan hanya problem etika politik, melainkan merusak tatanan konstitusional yang menjadi fondasi negara.
Beathor menilai Gibran telah menjadi simbol “keretakan konstitusi” akibat proses politik yang meloloskan dirinya sebagai calon wakil presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
“Indonesia makin hancur bila Gibran tidak segera dimakzulkan. Dia menjadi contoh buruk tentang bagaimana konstitusi dihancurkan dan ketidakjujuran dilegalkan,” ujar Beathor, Kamis (4/12/2025).
Beathor melanjutkan kritiknya dengan menyoroti kapasitas kepemimpinan Gibran.
Menurutnya, Gibran tidak memiliki rekam jejak atau kapasitas intelektual yang layak untuk menduduki jabatan wakil presiden, terlebih dalam situasi global dan domestik yang penuh tantangan.
“Bangsa ini terlalu besar untuk dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas intelektual. Gibran bukan hanya minim pengalaman, tapi juga menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita,” tegasnya.
Beathor menilai Gibran naik ke tampuk kekuasaan bukan melalui proses meritokrasi, melainkan melalui jejaring kekuasaan keluarga.
Ia menyebut hal ini sebagai awal kemunduran demokrasi Indonesia.
Kritik terhadap Gibran tidak lepas dari kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi dirinya maju sebagai cawapres melalui perubahan syarat usia.
Putusan itu belakangan memicu krisis besar setelah terbukti terdapat konflik kepentingan di dalam tubuh MK sendiri.
Ia menyebut putusan tersebut sebagai “titik balik suram” bagi konstitusi Indonesia.
Beathor menyatakan bahwa pemakzulan bukan hanya persoalan politik, tetapi upaya memulihkan martabat konstitusi.
“Jika bangsa ini membiarkan pelanggaran konstitusi menjadi normal, maka kerusakan akan terus berlanjut. Tidak ada masa depan bagi demokrasi yang membiarkan manipulasi hukum,” kata Beathor.
Beathor juga menyinggung bahwa keberadaan Gibran di posisi puncak justru mengajarkan generasi muda bahwa kemenangan politik bisa dicapai tanpa integritas.
Menurutnya, hal ini sangat berbahaya bagi pembangunan moral bangsa.
“Anak muda diajarkan bahwa kekuasaan bisa diraih tanpa integritas, tanpa proses, tanpa kecakapan. Ini racun bagi masa depan politik Indonesia,” ujar mantan tahanan politik era Soeharto.
Sejumlah aktivis demokrasi juga menilai fenomena ini sebagai gejala politik dinasti yang kian mengakar, menempatkan publik pada posisi pasrah terhadap manuver elite.
Namun, wacana pemberhentian wakil presiden bukanlah isu ringan. Proses pemakzulan harus melalui DPR, Mahkamah Konstitusi, hingga Sidang MPR — mekanisme panjang yang memerlukan konsensus besar para elite politik.
Sumber: JakartaSatu